Yang Abadi Ketika Nyala Sekar Tak Pernah Mati

Yang Abadi Ketika Nyala Sekar Tak Pernah Mati

*Untuk Rama, Iki, Dena, Satria, dan semua kawan-kawan yang turut mendukung kolektif Opus-Contra. Semoga selalu berada di jalan yang membuat kami terus mempunyai hasrat untuk terkesima.

“Dan Perjuangan Adalah Pelaksanaan Kata-kata”

Tiap sudut kota Bandung pukul 2 dini hari selalu menyenangkan, sayup angin di tepi persimpangan jalan yang kadung sepi membuat semua kendaraan yang melintas terasa begitu lambat. Ditemani asupan apapun, mesin dalam tubuh tak pernah menolak untuk merayakan semua yang masuk, setidaknya itu yang dirasakan. Dan mau bagaimanapun, bersahabatnya situasi romantis diatas tanah kota besar, kita selalu sadar akan hal yang tak pernah baik-baik saja. Sialnya, rasa ingin menolak legitimasi tersebut tak pernah jauh dari pikiran.

Lamunan-lamunan yang terlintas mengenai permasalahan pada banyak hal; ideologi, masalah kota, akomodasi primer, genre musik, hingga tatanan busana yang diperdebatkan. Kadang tak cukup hanya dengan berselisih kata-kata, terlampau jauh untuk dapat disampaikan. Kita berpikir bahwa adu mulut adalah satu-satunya cara untuk menyampaikan keresahan, tetapi disisi lain masih banyak cara menuju titik apa yang kita tuju.

Siapa yang tak  merenung ketika “Peasantry or ‘Light! Inside of Light!” di menit ke 4:04 berdengung saat kita melihat kumpulan lamunan, gesekan senar Efrim Menuck menyulap suasana menjadi alam baru. GY!BE (Godspeed You! Black Emperor) tak pernah gagal menyampaikan suguhan megah, dan yang harus digaris bawahi; tak ada ‘kata’ yang disampaikan.

Magis sebuah suara menjadi kekuatan baru untuk menyampaikan sesuatu, yang bisa melebihi perwakilan kata-kata. Dimana ada banyak grup musik instrumental (kami tak setuju dengan pelabelan ‘post-rock’) diseluruh penjuru dunia, dengan memfungsikan musik oleh cara yang berbeda-beda. Di Bandung, hadir kembali kolektif musik noise eksperimental yang sudah berikrar di skena ini cukup lama, Gaung. Dengan sajian terbaru mereka: mini album yang bertajuk “Hidup Sekar Mati Tak Mampus”.

***

Dalam penuturan New Dawn Fades tentang algoritma “Panduan Mendengarkan Musik di Awal Zaman Milenium”, nama terakhir yang menjadi batas puncak standar musik yaitu Nirvana dengan semangat grunge-nya, namun sejarah berkata lain. Setelah turun ke titik nadir beberapa saat, di awal millennium terbit fajar baru yang menjanjikan harapan. Musik dengan basis instrumen yang lebih kaya serta variatif, menjelma menjadi penanda zaman baru, dimanapun.

Ketika skena lokal memiliki Homicide dengan nyala yang berpotensi menyemaikan perlawanan, dari era reformasi sampai akhir tahun 2000-an. Menjadi hymne para aktivis yang turun ke jalan sambil berteriak potongan lirik lagu Homicide, kekuatan lirik dari Herry Sutresna menjadi katalis sebagai salah satu lagu protes terbaik di Indonesia. Kita tak bisa naif bila lagu-lagu yang bertemakan protes sosial berpengaruh terhadap pergerakan aktivis, yang menjadi catatan; itu semua hanya respon dari apa yang terjadi di lapangan, dan apa yang terjadi selanjutnya tak bisa kita satu komplekan. Begitupun dengan musik yang diciptakan oleh Gaung pada mini album terbarunya, Gaung memang tak setenar .Feast, atau tak lebih bersahabat saat didengarkan musiknya seperti The Panturas. Tetapi dibalik itu semua, musik instrumental Gaung memiliki magis tersendiri, bukan hanya soal hasil karya yang diciptakannya, tetapi dibalik proses serta sistem kerja kolektif yang dibangun menjadikan mereka selalu dekat dengan kawan-kawan di skena, sampai yang jauh sekalipun.

Terbentuknya kolektif Opus-Contra yang di akomodasi oleh Rama, dengan salah satunya Gaung yang bernaung dibawah kolektif tersebut, menjadikan semua proses kreatif dikerjakan secara komunal, serta menumbuhkan rasa memiliki yang tak dicanangkan oleh grup musik lainnya.

Mengerjakan proyek Opus-Contra yang melahirkan mini album “Hidup Sekar Mati Tak Mampus” di Ruang Tamblong (selain produksi musik di studio), sebuah tempat berukuran tak terlalu besar, berdiri di tengah Jalan Tamblong, Bandung. Apa yang bisa diharapkan dari tempat yang baru berdiri belum genap 2 tahun? Tetapi sekali lagi, magis dari kolektif lintas disiplin yang turut campur tangan dalam proyek ini kembali melahirkan sebuah karya sublime dari Gaung.

Musik yang diciptakan Gaung bukan hanya sekedar estetika, melebihi itu, mereka berhasil menciptakan kolase dari kata-kata yang ditransformasikan kedalam musik. Dengan semangat “Kita Berkarya, Maka Kita Ada”, sebuah pengembangan petuah dari Descartes, yang mampu mengelaborasikan kerumitan partitur musik Gaung menjadi komposisi yang luar biasa.

Hidup Sekar Anarki, Mati Tak Mampus Dimakan Hirarki

Pada dasarnya, musik adalah penanda eksistensi. Dengan caranya sendiri, Gaung yang merilis sebuah mini album bertajuk “Hidup Sekar Mati Tak Mampus”, kembali memamerkan kegelisahannya mengenai paradoks masalah tatanan manusia. Setelah pada tahun 2017 album perdana mereka yaitu “Opus Contra Naturam” berhasil dirayakan, proyek mini album ini masih dalam rangkaian dari proses album pertama. Walaupun banyak sekali perbedaan, baik dari komposisi lagu, proses berkarya, sampai hasil akhir produksi.

Berlandaskan kekuatan kolektif, bagaimana Rama dan kawan-kawan lainnya mengkolaborasikan beberapa ide lintas disiplin dari latar belakang berbeda pada semua orang yang terlibat. Musik instrumental yang diciptakan, dengan tema tiap lagu yang berbeda-beda, mini album ini sukses menyusun puzzle dari gagasan besar tema nya.

Kami tak cukup cakap dalam mengulas musik secara teknis, apalagi dalam teori bla bla bla. Tetapi yang cukup menarik dari rilisnya “Hidup Sekar Mati Tak Mampus”, keterlibatan banyak pihak yang digagas Rama membuat mini album ini terasa dimiliki oleh semua, tak terkecuali Gaung sendiri. Pada lagu “SEKOCI” yang di remodel oleh Tesla Manaf, lalu “APPHTA II” yang juga dihajar oleh emergence music artist Tomy Herseta, dan lagu “Gading Retak Tanduk Patah Bukti Tak Runtuh“ di model ulang oleh Randslam & Densky. Keterlibatan kawan-kawan tersebut membuat mini album dari Gaung sangat beragam, diluar sangat jauh secara komposisi musiknya dari lagu 1&2, Gaung membuat terobosan anyar dengan melepas paradigma album musik yang harus selaras, dan bekerja secara kolektif.

Dua lagu yang dikerjakan murni oleh personil Gaung, yaitu “Hidup Sekar Mati Tak Mampus” serta “Api Padam Puntung Hanyut Tarung Abadi“ berhasil membuat Gaung mempunyai karakter yang berbeda. Jauh dari materi album pertama, dengan pemakaian judul berbahasa Indonesia, serta secara musik lebih ‘bersahabat’ untuk didengarkan. Dentuman drum Satria, distorsi dari duo gitar Rama dan Iki, juga tarian jemari Dena pada bass melebihi ekspektasi kami dari lawatan album pertama.

Perjalanan eksperimental Gaung tak hanya bermodalkan alat musik konvensional, pada lagu “Slack Off! Bandung Creativity Slavery“ Gaung mencoba mengeluarkan kemampuan diluar pemakaian alat musik studio. Merespon pembubaran paksa pegawai BCH Bandung, Gaung melakukan bombing di basement gedung tersebut. Dibantu oleh peniup harmonika handal Harry Waluyo, juga ada ambient teriakan yang menggema di lagu tersebut.

Yang Perlu Dicatat

Manifesto catatan dari Rama mengenai mini album “Hidup Sekar Mati Tak Mampus” berbicara mengenai kegelisahannya terhadap esensi fungsi manusia, tentang bertahan hidup di dunia yang diinjak penguasa, tentang kebebasan berpikir, tentang nyala semangat ‘bergerak’. Sangat bekerja pada semua aspek, seperti yang sudah dibahas di catatan diatas tentang kerja kolektif lintas disiplin, terlepas dari menyambat atau tidaknya dengan materi musik yang di produksi, manifesto tersebut memang harus dilaksanakan secara kekal. Dan musik hanya sekedar katalis, relevan atau tidak, terlebih musik nir-kata.

Produksi lagu-lagu didalam “Hidup Sekar Mati Tak Mampus” yang banyak melibatkan beberapa pihak, dominasi Rama sebagai produser terasa sangat kental, yang membuat rasa kebingungan kami semakin besar. Tetapi jika memang itu tujuannya, Rama dan kawan-kawan sangat berhasil.

Kesan mewah tak melulu harus elitis, dan dua lagu Gaung pada track 1&2 ada di level tersebut, dengan dikerjakan oleh Gaung secara langsung. Tetapi sedikit hal, kami menyanyangkan mengapa hanya dua track yang disuguhkan, walaupun bertajuk mini album. Opini dari kami yang sangat menyenangi musik Gaung, setidaknya kami memaafkan dari hasil materi album pertama Gaung yang luar biasa.

*** Kutipan kalimat pertama yang diambil dari puisi W.S Rendra yang berjudul “Paman Doblang”, mengais opini ini kepada semangat konsistensi yang harus terus bergerak, besar atau kecil. Karena kesadaran adalah matahari, bumi yang mewakili kesabaran, munculah keberanian sebagai cakrawala. Dan, perjuangan adalah pelaksanaan ‘kata-kata’. Selamat merilis karya, Gaung.