Highvolta – Release The Dashboard: Seni Yang Tak Mengubah Apa-apa

Highvolta – Release The Dashboard: Seni Yang Tak Mengubah Apa-apa

Dapatkah seni mengubah sesuatu? Apakah seni pantas untuk membicarakan pengubahan? Atau malah seni adalah hal yang sangat pribadi dalam diri si seniman? Jika memang seni sepantasnya bisa mengubah, bagaimana kerja seni dalam mengubah? Pertanyaan-pertanyaan ini membingungkan banyak orang. Termasuk kita yang membaca tulisan ini. Dapatkah kita menjawabnya?

Dalam rangkuman acara perdana Highvolta, kami mengundang Herry “Ucok” Sutresna sebagai pembicara, yang menurut kami Babap –pangggilan akrabnya- lah yang pantas dan kami hormati sebagai gerbang pembuka jalannya media ini. Acara yang diselenggarakan pada 21 Mei 2017 tersebut adalah acara yang digagas sebagai peluncuran Highvolta Media, yang bertemakan “Seni yang Tak Mengubah Apa-apa” sebagai tajuk diskusi. Juga menjadi titik awal pondasi kami sebagai media independent.

Pengimanan terhadap seni seringkali berbeda oleh setiap orang. Entah itu megenai definisi seni, mengenai fungsi seni, ataupun peruntukan seni. Sudah banyak pemikir-pemikir yang mencoba menjawab pertayaan-pertanyaan tersebut bahkan sedari Yesus dan Nabi Muhammad belum dilahirkan. Mulai dari Aristoteles sampai Frankfurt School sudah banyak meraba-raba soal seni itu sendiri, salah satunya adalah soal penciptaan seni.

Seiring perkembangannya, mucul dua aliran besar dalam penciptaan seni, seni untuk rakyat dan seni untuk seni (l’art pour l’art). Perdebatan ini sampai ke Indonesia. Ketika sastra berada di era Balai Pustaka. terjadi perdebatan antara seni untuk seni dan seni untuk perlawanan oleh para penulis dan seniman era Balai Pustaka, dilanjutkan dengan Manikebu vs Lekra, dan mungkin sampai sekarang masih terasa perdebatan itu.

Tapi jika seni ditunjukan untuk seni apakah seni itu dapat mengubah? Ataupun seni untuk rakyat itu dapat mengubah? Roland Barthes pernah berkata dalam eseinya, The Dead Author, bahwa ketika penulis –kita samakan juga dengan seniman– menghasilkan karyanya, ia sudah mati di situ. Seniman sudah tidak memiliki otoritas terhadap karyanya, karena karyanya sudah dijauhkan dari dia setelah karya itu dihasilkan. Pemisahan tersebut terjadi karena karya telah menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi milik seniman lagi dan karena interpretasi bebas dilakukan oleh si pembaca. Maka karya si seniman tidak lagi mewakili tujuan dari penciptaan yang dilakukan si seniman.

Dapat kita lihat bagaimana lagu If You Tolerate This, Your Children Will Be Next milik Manics Streets Preachers yang anti-fasis dan dengan gamblang dalam liriknya menuliskan So if I can shoot rabbits then I can shoot a fascists, digunakan oleh kelompok fasis Inggris, England Defence League, sebagai musik latar dari video promosi konvoi yang akan mereka laksanakan di Birmingham. Atau ketika Everybody’s Changing milik Keane digunakan oleh Partai Konservatif Inggris untuk kampanye David Cameron yang mana Richard Hughes, drummer dari Keane, memprotes hal tersebut dengan sala satu alasan tidak sejalan dengan Partai Konservatif.

Tapi bukankah banyak kejadian riil bahwa seseorang benar-benar tergerak setelah mendengarkan musik yang memang diciptakan untuk mengubah kehidupan sosial? Orang-orang yang bergerak di perjuangan kelas pasti mengenal dan mendapatkna banyak inspirasi dari Homicide. Orang yang bergerak di aktivisime sosial banyak yang tergugah setelah mendengarkan We Shall Overcome dari Bob Dylan, lagu ‘Mentari’ milik “Abah” Iwan Abdulrachman, mendengarkan beberapa nomor Public Enemy atau Rage Against The Machine.

Apakah hal di atas itu berarti musik (yang juga karya seni) dapat mengubah? Apalagi banyak yang berkata bahwa seni adalah sebuah media untuk menyampaikan pesan dan dapat menggerakkan hati si penikmat karya seni tersebut.

Coba kita bayangkan seperti ini, jika kita mendengarkan lagu ‘Puritan’ milik Homicide dengan lirik “fasis yang baik adalah fasis yang mati,” pasti banyak dari kita yang “terprovokasi” dan mendapatkan impresi yang luar biasa dari lagu itu. Namun tak dapat kita elakkan bahwa kita tidak akan selesai dari mendengarkan musik saja. Mungkin akan ada yang berpikir “Jika kita membunuh fasis, apa bedanya kita dengan fasis itu sendiri?” Atau pengalaman lain ketika kita tergugah mendengarkan sebuah lagu dan mencoba mendalami dan “mengalami” ide dari karya tersebut, pertanyaan akan selalu muncul. Maka, apakah seni dapat mengubah? Karena jika kita lihat dari kasus tersebut, seni tidak mengubah/memberikan impresi dan menggugah mungkin iya.

Karena itu tugas pengubahan bukanlah tugas seni, tetapi tugas si seniman. Sebab ketika seniman hendak mengubah dan mengawali dengan menciptakan karya yang “memprovokasi” dan memberikan impresi tadi, tugasnya belum selesai, ia harus datang pada mereka yang pikirannya telah “diganggu” dan mencoba untuk berdialektika dengan mereka –jika seniman memang benar-benar ingin mengubah.

Juga tentu saja untuk pengubahan perlu ada sebuah pertanyaan dasar dan pamungkas: kegelisahan apa yang membuat kita harus melaksanakan pengubahan? Jika pada kenyataannya tidak ada kegelisahan selain “rasa gelisah” karena kita ingin mengubah tetapi tidak mengetahui apa yang mesti diubah, lebih baik cari duit saja untuk hidup.

Maka pertanyaan soal pengubahan adalah 100% untuk si seniman yang ditanyakan oleh seniman kepada dirinya sediri. “Mengapa saya harus mengubah?, Apa yang hendak saya ubah?, Mengapa saya memilih seni sebagai media untuk memulai pengubah?,dan setelah itu “Bagaimana saya akan mengubah?

Karena jika kita melihat lebih dalam lagi pada proses penciptaan, pada aliran penciptaan seni apapun, nyatanya tugas seni adalah memuaskan si seniman. Karena seni itu sendiri adalah objek dan si seniman adalah subyeknya. Predikatnya? Itu terserah si seniman. Walaupun seni diciptakan untuk masyarakat dan orang luas, seperti si seniman lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan dirinya sendiri, itu sebenarnya adalah pemuasan diri si seniman sendiri. Ia terus akan puas ketika panggilan sosial dia sebagai manusia sedikitnya terpenuhi. Ia akan puas setelah melaksanakan kegiatan keseniannya yang beririsan dengan kegiatan sosial karena menurut dia itu yang benar, tetap sekali lagi itu untuk pemuasan diri. Sama setaranya seperti seniman yang membahas cara memotong acar yang baik dan benar untuk hidangan yang berbeda-beda seperti untuk sate atau nasi goreng saat ia melihat ada yang aneh dari sistem pemotongan acar.