Ayat-Ayat Bima Sakti

Ayat-Ayat Bima Sakti

Semua ini ditulis dengan penuh cerah mengutil corak Salman Rushdie yang hasilnya tentu terjadi kemerosotan dimana-mana ketika sengaja menjadi fanfiction berdosa dari novel terlarangnya, The Satanic Verses.

***

Dalam ruangan bertekanan asap racun yang menjadi dominan daripada oksigen, Jibril Faristha sengaja menawarkan diri didalamnya – Hoji! . . . Hoji! . . . Untuk bisa mendarat, seseorang harus bisa terbang dahulu . . . Tapi bagaimana bisa tenang tanpa terancam terlebih dahulu? Bagaimana bisa bebas tanpa trauma terpasung? Paradoks ulung, coret semua! – bagimu kebebasanmu, bagiku kebebasanku – mantra naif, serasi dengan manusia sebagai pemilik sifatnya. Kali ini berpenampakan seorang brengsek yang mengilhami etos kemandirian namun akibat hukum alam ia tersisih berakhir menjadi budak sembilan menuju lima – menyedihkan sekaligus indah bersamaan – dari lapisan terakhir harapan seorang manusia. Mutasi! . . . Mutasi! . . . Kebangkitan diperlukan untuk bisa menikmati kejatuhan. Jika ingin meleburkan diri selama semenit-empat-puluh-tiga-detik, berkunjunglah ke ufuk timur waktu Indonesia bagian transitori.

Jibril Faristha sering dipanggil setan oleh ibunya – akibat keonaran yang sering diperbuatnya. Ia perlu menyucikan diri, perlu terlahir seperti semula. Maka untuk terlahir kembali, kau harus mati terlebih dahulu. Dewi Hera, Part I mulai berjalan, putar penuh kapasitas deru, antisipasi hal-hal yang akan mengganggu, dan gapai rasa merasa cukup.

Bertepatan dengan Jibril Faristha yang tercenung meratapi obsesinya menjadi malaikat – menit ke menit yang tidak digunakan dengan baik – padahal saat ini sedang lengang; seruling Wukir teceguk-ceguk, awan hitam Stephen O’Malley bergemuruh dikejauhan, frekuensi yang merangkak perlahan – alias permulaan yang netral. setidaknya Jibril Faristha perlu sadar sedikit bahwa setelah initidak akan ada lagi yang nyaman – kebangkitan diperlukan untuk bisa menikmati kejatuhan – putar lagi . . .

Tidak cukup waktu. Sampai dimana Bima dan Ular Naga , Part I mulai digerakan gitar O’Malley. Gertak sekali . . . dua kali . . . Terlalu menyentak saraf otak, tiap bunyinya mengedipkan mata Jibril Faristha. Pekat asap racun yang masih bertebaran mulai bersahabat, Jibril Faristha mengkerutkan badan lalu tenggelam merangkak pergi menuju bumi yang basah kuyup hitam dibawah langit tanpa bintang di atasnya.

Dengar Bintang Gemintang dimana Rully Shabara mulai merakit sakit, The Quietus lebih senang menyebutnya: ‘tenggorokan yang brutal, jika diafragma anda memiliki diafragma–inilah yang akan terdengar.’  Namun yang jadi masalah saat ini, kawan kita Jibril Faristha, sedang berenang di udara! Gaya dada, gaya kupu-kupu, gaya misionaris, berputar-putar – Setan, lingkaran tuhan! – Usut tidak punya usut, ini terjadi akibat reaksi psikotik yang mencuat di dalam tubuhnya ketika mendengar petikan bebas liar bambuwukir perauk ahli reptil.

Kurang antisipasi. Kepatil. Bahasa ibu jadi terampil. Sekarang, saatnya menguji ketidak-seriusan dengan keseriusan. Hakikat Kabut ditambah gemuruh ditambah cumulonimbus ditambah negara busuk ditambah matahari model terbaru ditambah postur-postur ditambah kengerian hidup, sama dengan? . . .  Hancur merata, bodoh merata – mengambang disana, reruntuhan jiwa – ingatan-ingatan yang pecah – pribadi yang disingkirkan – lelucon yang tidak dapat diterjemahkan – masa depan-masa yang mengerikan – si pintar berkeliaran, ditakuti akibat cekatan, atau jangan-jangan megalomania yang teralihkan . . . Hancur merata, bodoh merata – kasih sayang yang hilang – demam kebingungan – cetak biru budaya pemobodohan – neraka kegagalan keinginan – terberkati kemunduran.

Part II dari Bima dan Ular Naga dan Dewi Hera yang total berjumlah 21:44 menit merupakan pengalaman spiritual tersendiri bagi Jibril Faristha. Berandai-andai bagaimana jika Hera muncul dari balik ujung tirai, lalu bercerita tentang kejenuhan yang dialaminya akibat Zeus selalu pulang jam tiga pagi dalam keadaan teler, minim sentuhan, minim di kamar. Jibri Faristha mengerti. Tidak boleh ada celah sedikit pun. Cerdas dan taktis, jangan seperti Endymion yang pernah mencoba sekali, tetapi Zeus tahu lalu mengutuknya untuk tidur abadi.

Lampu hijau, lampu kuning, lampu merah. Mengambil resiko yang disengaja. Terkadang, cara terbaik untuk bersembunyi adalah dengan tidak bersembunyi. Dewi Hera, seorang wanita matronly dengan keindahan khusyuk, sedang mengungkapkan latar belakang ngeri sebelum Zeus tiba. Pendengar yang baik, katanya. Jibril Faristha mendapat persetujuan. Tuan Cemerlang! Narsismenya tidak mengenal batas.

Tapi narsisme adalah pembunuh, dan manusia hanyalah manusia, mana mungkin bisa mengakali dewa. Hoji!. . . Hoji! . . . Untuk bisa mendarat, seseorang harus bisa terbang dahulu. Jibril Faristha tersadar bagaikan kilat dari langit cerah. Ia teralienasi pergi ke galaksi spiral, dimana ingatan yang telah hilang muncul kembali. Ketika ibunya mewanti-wanti bayi berumur lima tahun untuk tidak melihat matahari melalui hasil foto negatif. Tujuh tahun setelahnya Jibril muda memberanikan diri dan jadi tahu, bahwa melalui foto negatif, ia bisa melihat kualitas batin demonik yang sebenarnya dari cahaya matahari. Cahaya yang gelap, begitu fokus, dan mengandung kebahagiaan nurani.

***

Jika kalian para pembaca yang terhormat tahan membaca cerpen kosong ocehan seorang penulis palsu dan sempat atau sudah mengecap saya ngablu, cacat logika, pretensius, atau sedang masturbasi. Maka izinkan sebuah utas Rully Shabara di linimasa menjadi alibi bagi saya untuk menghindari tuduhan ini, begini katanya: ‘Album musik, lagu – termasuk bila diputar atau dibawakan orang lain – bukanlah karya seni sesungguhnya. Itu Cuma representasi, katalog, produk jualan, atau contoh dari gagasanmu. Kecuali kamu mau gagasanmu diturunkan kadarnya jadi itu semua . . .’ Dan ketok palu. Tuntuntan dibatalkan. Kasus ditutup. Pembebasan bersyarat diberikan kepada terdakwa dengan catatan setiap minggu diharuskan lari telanjang mengejar babi ngepet yang dipunggunya diberi stempel ‘S.J.W’. Bussssshhhhh.

Musik Senyawa dengan kompleksitasnya terkadang mengingatkan kembali untuk mereset telinga ini kembali ke pengaturan awal lalu melepasnya bebas – ikuti saja, berikan perhatian, sehingga gambaran yang bisa diberikan adalah dengan cara membiarkan imajinasi terangsang sampai batas maksimal imajinasi itu tertanduk.

Alkisah fenomenal, menggebrak, dan melampaui akal sehat. Dengan paham desentralisasi yang berhasil diterapkan, membuat album itu dirilis oleh 44 label dengan kemasan dan desain yang berbeda, ditambah bonus trek versi remix dari berbagai musisi lokal berdasarkan dimana album itu dirilis. Porsi apokaliptik berlebih yang akan selalu menarik-miris untuk drenungi.

Desentralisasi adalah masa depan – hal utopis yang menjadi nyata. Musik milik siapa saja. Label-label kecil di setiap penjuru bumi akan terus hidup dan bergerilya. Semangat mendunia tanpa embel-embel dunia ketiga. Namun Bima Sakti memiliki peranan penting menjadi jembatan untuk menuju itu semua dengan album instrumental yang tetap menjaga desak atmosferik muram dan mengkutuk – salah satu pengalaman distopia yang menyeret untuk disusuri. Pertemuan Senyawa dengan Stephen O’malley terjadi ketika kunjungannya ke Indonesia di tahun 2017 yang dimana tiga tahun setelahnya bereksperimen menciptakan salah satu album terbaik di tahun munculnya covid keparat ke muka bumi ini.