Tragedi dan Upaya Mengamputasi Hidup
Tragedi-dan-Upaya-Mengamputasi-Hidup

Tragedi dan Upaya Mengamputasi Hidup

Selama ini, kematian tikus tak pernah jadi hal yang begitu menyita perhatian. Menemukan tikus mati tergeletak di tengah jalan, sama lazimnya dengan menemukan botol air mineral yang dibuang sembarangan. Mengingat keberadaan tikus yang tak begitu dianggap penting oleh manusia dalam konstelasi alam semesta, dan cenderung dikategorikan sebagai hama.

Namun tidak untuk siang itu, saat kaki Dr. Rieux tersandung tikus yang sekarat sambil menyemburkan darah dari mulutnya di depan ruang tunggu praktek tempat ia bekerja. Kematiannya justru jadi perhatian dan penanda aneh, ia amat yakin tak ada tikus di gedung tempat ia praktek.

Tanpa disangka pula, kejadian tikus mati itulah yang menandai wabah mengerikan yang menyerang kota Oran di Aljazair. Wabah yang dikenal dengan wabah sampar. Wabah yang kemudian meluluhlantakkan kota itu dengan sangat mengerikan, di mana kematian manusia jadi hal yang lumrah. Berada tepat diubun-ubun. Menghampiri siapapun.

Kondisi di atas adalah salah satu lanskap yang digambarkan Albert Camus dalam novel klasiknya: Sampar.

Saat  wabah menyerang, respon orang-orang beragam. Ada yang mengutuk, pasrah, atau ada yang bahu-membahu membantu seperti yang tergambar dalam diri Dr. Rieux dan Tarrou. Atau malah ada yang menganggapnya sebagai azab, seperti yang tergambar dalam khotbah Pastur saat misa.

***

Untuk yang terakhir, tentu tak sulit untuk kita tarik kesamaannya dengan masyarakat kita saat musibah/bencana alam datang. Sangat mudah menemukan pernyataan-pernyataan ngawur yang mengait-ngaitkan bencana alam dan moralitas. Azab dan bencana jadi dua hal yang selalu muncul bersamaan.

Salah satu lagu yang cocok untuk menggambarkan kondisi ini adalah Tragedi milik band Seringai. Lagu dengan lirik kuat yang sanggup menggambarkan betapa bencana membuat sebagian orang kehilangan empati (atau bebal dalam bahasa mereka). Orang-orang yang amat percaya bahwa bencana lahir akibat jenis minuman tertentu yang masuk ke tubuh manusia. Gempa bumi, tsunami, gunung meletus, penyebabnya adalah dari file unduhan di internet. Mereka yang menganggap kemaksiatan jadi pengundang bencana datang.

azab menghantuimu, bebal mengaburkanmu

Dilontarkan tegas tanpa malu-malu.

Dibuka dengan intro berupa cabikan bass Sammy yang dilanjutkan dengan shout-gangDan.. ini.. Tragedi..” dipadu balutan sound gitar Ricky yang kuat berciri, sebelum kemudian masuk pada penggugatan mitos dengan lirik berupa: “kucing hitam menghalangimu, kau pikir kau tertimpa musibah”.

 Menggunakan metafor “tabur garam ke pada luka, membuat duka menjadi murka” untuk menyindir orang-orang yang alih-alih berempati pada korban yang tertimpa musibah, malah melontarkan kalimat ngawur dengan mencari-cari penyebab bencana datang, yang sialnya tak masuk akal serta diucapkan saat kondisi korban sedang berduka. Puncaknya adalah “di mana korelasi antara bencana dan akhlak manusia?!” jadi salah satu punchline paling kuat yang pernah Arian buat. Sangar, tegas, provokatif, in-your-face. Lirik berupa pertanyaan retoris yang tak butuh jawaban. Respon kemuakkan total bagi talkshit orang-orang picik yang “tabur garam kepada luka”yang menganggap bencana datang berkat ulah atau moral manusia.

Inti dari lagu ini memang penggugatan, penggugatan bagi orang-orang yang terobsesi ‘mensucikan’ dunia dari hal-hal yang mereka anggap kotor atau salah. Mereka tak malu-malu melontarkan ketidak setujuannya tentang apapun yang mereka tak sepakati. Lagu ini masuk dalam album ketiga mereka, Taring. Dan jika kita cermati materi-materi di album tersebut temanya tak begitu jauh soal penggugatan tadi. Tentang upaya pemblokiran situs porno oleh Keminfo yang mereka anggap sia-sia di Serenada Membekukan Api. Atau upaya media yang menyudutkan musik metal sebagai biang keladi penyebab konser yang memakan korban pada Dilarang di Bandung.

Lagu tentang orang-orang yang terobsesi membersihkan dunia dari apa yang mereka anggap salah. Apa yang mengotori kesuciannya mesti dibunuh, dibasmi.  Beberapa abad lalu Nietzsche sudah  menyinggung soal fenomena ini: tentang orang-orang yang terobsesi membuat hidup menjadi hanya sekedar satu sisi: sisi benar. Sisi baik. Atau “kehendak mati-matian akan kebenaran” dalam bahasa Nietzsche. Tak ada sisi salah. Padahal menurutnya hidup adalah keduanya: benar dan salah. Menghilangkan salah satu aspeknya sama artinya dengan mengamputasi hidup itu sendiri. Karena hidup adalah campuran dari keduanya: benar dan salah. Anjurannya tentang menerima realitas apa adanya jadi salah satu kunci pemikirannya. Realitas itu kaotis, campur baur, sekaligus benar dan salah. Maka upaya-upaya mencari penyebab suatu peristiwa/musibah terjadi ia anggap sebagai bentuk ketidak siapan manusia menghadapi realitas yang kaotis, absurd dan campur baur. Bentuk kepasrahan yang Nietzsche tawarkan.

Seperti tergambar dalam salah satu fragmen di novel Sampar: “makna apa yang hendak diambil dari kematian seorang bayi?!” Tragedi adalah tragedi.