Tawaran Sistem Ekonomi Swakelola: Susun dan Kerjakan

Tawaran Sistem Ekonomi Swakelola: Susun dan Kerjakan

Isu tentang model bisnis/ekonomi yang dijalankan dalam sebuah kolektif jadi isu yang krusial dan cukup sering dibahas di beberapa forum dan tongkrongan. Betapa tidak, seringkali sektor inilah yang menjadi penentu panjang atau tidaknya napas sebuah kolektif dalam menjalankan agendanya. Sektor ini pula yang seringkali luput dibenahi hingga berujung pada cerita-cerita tentang bubarnya sebuah kolektif akibat manajemen produksi yang buruk. 

Passion boleh mantap, visi-misi boleh setinggi langit, atau agenda-agenda boleh progresif, tapi tanpa ongkos produksi dan kemampuan manajemen cost yang baik, sulit rasanya memperpertahankan eksistensi sebuah kolektif dalam jangka waktu yang lama. Cukup sering kita dengar tentang cerita jatuh bangunnya kolektif-kolektif dalam mempertahankan eksistensinya.

Terlebih jika dihadapkan pada dilema antara kemandirian dan kompromi, yang jalan pintasnya selalu tentang kooptasi, alias menunggu suntikan dana dari pihak-pihak yang sama sekali tak ada urusannya dengan agenda kolektif itu sendiri (baca; korporat).

Di hadapan dilema tersebut, pilihan yang paling mungkin adalah membentuk semacam basis ekonomi mandiri yang gunanya untuk menghidupi sekaligus menjalankan agenda-agenda di kolektif tanpa campur tangan pihak-pihak lain. Cara itu yang selama ini banyak dipakai oleh kolektif-kolektif terutama di Bandung, terutama atas kaitannya dengan posisi tawar mereka di hadapan kompromi-kompromi pasar yang seringnya merugikan. Tapi apa itu cukup? Sayangnya tak selalu. Prinsip kemandirian ini seringkali hanyalah replikasi bentuk dari sistem yang tak jauh berbeda dengan sistem yang selama ini kita lawan, hanya saja skalanya yang lebih kecil.

Tempo hari di Dago Elos dalam rangkaian acara Festival Kampung Kota dilangsungkan diskusi dengan tema: Wacana dan Praktik Ekonomi Swakelola yang mengundang narasumber: Herry Sutresna dari Grimloc Records, Raw Studio, serta Yab Sarpote yang sempat mengorganisir unit usaha bernama AOA Space.

Berbekal rasa penasaran, sebelum diskusi dimulai, saya iseng mengetik kata kunci “Ekonomi Swakelola” di kolom pencarian Google. Tiga hasil yang muncul di pencarian paling atas di antaranya: website lpsekabinhin, kemenhan, juga lkpp.go.id; yang semuanya mengacu pada pengertian tentang pengadaan barang dan jasa. 

Istilah swakelola selama ini diidentikan pada upaya-upaya pengadaan barang dan jasa yang dikerjakan sendiri oleh kementrian, lembaga, ataupun perangkat daerah. Tentu saja saya yakin bukan soal ini maksudnya.

Jika ditilik dari asal katanya, tentu mudah untuk kita simpulkan bahwa swakelola adalah gabungan dua kata yakni: Swa dan kelola. Swa berarti mandiri, sedangkan kelola berarti pengelolaan. Dengan demikian istilah swakelola adalah bentuk pengelolaan yang mandiri. 

Ternyata benar, saya bukan satu-satunya orang yang mencari di Google soal Swakelola ini dan menemukan kenyataan dan hasil yang sama. Moderator acara pada saat itu pun melakukan hal yang serupa sesaat sebelum forum diskusi dimulai. Beruntung, forum dilengkapi dengan proyektor soal pengenalan sedikit soal seluk beluk ekonomi swakeloa ini. 

Bisa disimpulkan ekonomi swakeloa ini adalah tawaran alternatif dari sistem ekonomi konvensional yang bercorak kapitalistik dan eksploitatif, dengan cara menghilangkan relasi majikan dan pekerja. Yab Sarpote bercerita tentang pengalamannya mengorganisir kolektif swakelola AOA Space, yang punya tagline: kafe tanpa bos. Ada beberapa kelebihan yang ia rasakan selama menjalankan kolektif dengan praktik ini, di antaranya: demokratisasi tempat kerja, setiap beberapa kali dalam seminggu selalu diadakan rapat pekerja, rotasi dan despesialisasi, ketiadaaan eksploitasi seperti relasi produksi konvensional, dan keuntungan yang lain adalah; menjadi ruang aman bagi komunitas-komunitas pro-demokrasi.

Meski saat ini belum ada cetak biru yang ideal tentang praktik ekonomi ini, setidaknya praktik ini adalah tawaran alternatif di tengah banalnya jargon-jargon; rebut alat produksi, runtuhkan kapitalisme, dll. Praktik ini jauh lebih kongkrit dari jargon-jargon tersebut atau sikap pasif kita yang hanya menunggu sistem ekonomi kapitalisme runtuh, terutama di tengah gencarnya penetrasi kapital yang menyasar kolektif-kolektif kecil. 

Kekurangan dan Catatan-Catatan

Yab mengaku, saat pertama kali membentuk kolektif AOA Space nya itu, ia berangkat dari kesadaran akan posisinya sebagai kelas menengah ber-privilese yang punya akses berlebih atas bacaan-bacaan dan teori-teori ekonomi yang selama ini ia pelajari. Dan mencoba bereksperimen atas teori-teorinya itu dalam membongkar rezim kerja upahan yang menindas. Sementara pada praktiknya, tak semua dewan pekerja punya tujuan, privilese dan titik berangkat yang sama, mengingat beragamnya kelas yang ada dalam kolektif tersebut. Dari mulai pengamen, mahasiswa, buruh, penjual bunga, sampai driver ojek.

Di antara beragamnya latar belakang kelas tersebut, otomatis sebagian besar mereka bergantung sepenuhnya pada AOA Space sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Tak semua anggota punya pikiran dan tujuan seperti Yab. Ketidaksamaan visi inilah yang kemudian jadi hambatan. Yab kesulitan untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan ini.

Selain itu Yab mengaku, ketiadaan bos layaknya relasi produksi konvensional, jadi catatan tersendiri. Di satu sisi ia menikmati relasi model ini, tapi di sisi lain, ketidakhadiran bos juga jadi salah satu faktor hilangnya inisiatif dari tiap-tiap anggota untuk menjalankan bisnisnya. Kolektif seperti kehilangan arah dan komando. Dalam hal ini ia kesulitan membedakan antara komitmen dan paksaan

Poin lain yang tak kalah penting dan juga menjadi catatan: ketotalitarianan kapitalisme yang memaksa AOA untuk berada dalam persaingan pasar dengan bisnis-bisnis sejenis. perang harga, persaingan konsumen, penambahan jam kerja, jadi sesuatu yang mutlak tak terhindarkan agar kolektif tak gulung tikar. Sementara modal yang dimiliki AOA terbatas dan kondisi anggota yang tidak sepenuhnya terikat.

***

Tahun ini, Highvolta menginjak tahun keenam eksistensinya sebagai “media”. Kami masih tak menyangka kolektif ini bisa bertahan selama ini. Setidaknya jika dilihat dari sisi produktivitas kami yang naik-turun. Mengingat dari tahun pertama kami tak pernah serius dalam membentuk proyeksi yang menghasilkan, di tengah tahun ini kami coba peruntungan untuk membangun unit usaha, pengembangan dari apa yang selama ini kami kerjakan.

Dipayungi dengan nama HV Lab, kami klaim sebagai laboratorium karena unit ini mengerjakan eksperimen dalam bidang printmaking. Sejak eksisnya Highvolta, terhitung ada beberapa rilisan fisik dalam bentuk magazine, buku, artprint serta beberapa poster untuk keperluan grafis dan publikasi. Dengan pertimbangan mengerjakan perihal terdekat, dikuasai dan disenangi, kami rasa peruntungan ini patut untuk diperjuangkan lebih, tentu dengan model yang lebih tertata.

Kami sadar unit usaha (HV Lab) ini bukan hal yang mudah untuk dijalankan, akan banyak medan mengejutkan yang perlu dilalui. Kami pun sepenuhnya paham bahwa bidang publishing untuk urusan cetak fisik banyak yang meragukan eksistensinya. Sudah itu lingkup kecil, apa yang kami kerjakan semakin tersegmentasi.

Namun berkaca pada pembelajaran mengenai ekonomi swakelola diatas, pengerjaan mandiri yang kami lakukan tak serta merta eksklusif. Sebisa mungkin kolaborasi antar lini dan disiplin lain akan sangat kami maksimalkan. Walau di bawah gempuran gurita besar dan persaingan pasar yang sangat bias, disinilah kesempatan untuk semakin memperbanyak unit-unit seperti yang akan HV Lab kerjakan.Kita tak pernah tahu sepanjang apa proyeksi ini berjalan. Tak hanya kami tentunya, banyak kawan-kawan lain yang tetap berpegang pada cara ini, yang sebisa mungkin tak mencekik pekerjanya sendiri.