Menyimak Momentum Durga

Menyimak Momentum Durga

Foto adalah kepemilikan dari RIPCVLT VISION

Oleh: Romario Fajar

Ada satu kutipan random di internet yang sempat menarik perhatian saya. Bunyi kutipannya kurang lebih: “Biarkan buku membukakan dirinya”.

Saya tak memahami sepenuhnya maksud dari kutipan itu. Setelah saya cari tahu lebih lanjut, saya kemudian tahu bahwa kutipan itu ternyata berasal dari judul esai yang ditulis Zen RS di blog pribadinya: pejalanjauh.blogspot.com.

Esai itu bercerita tentang hubungan personal Zen dengan buku-buku koleksinya juga proses bagaimana ia mencerna. Kadangkala buku-buku yang ia baca tidak serta merta langsung ia pahami isinya. Banyak pula yang tak menarik perhatian dan perlu waktu untuk memahaminya. Ia punya metode unik untuk ini: dengan cara menyebar buku-buku tersebut di sudut-sudut rumah dan sengaja ia simpan tak beraturan, karena menurutnya, lewat cara itulah ia bisa tetap terhubung dengan buku-buku tadi di sudut manapun ia berada. Di depan tv, di samping jendela, di ruang tamu, di buffet, atau bahkan di tempat yang tidak strategis seperti di dapur.

Dalam salah satu paragrafnya ia tulis: “Sebab, jika memang waktunya, buku-buku itu pasti menampakkan dirinya dengan cara yang tak terduga-duga”. Ini ternyata tujuannya: menunggu momentum yang tepat untuk buku-buku tersebut membukakan diri. Lalu tinggal ganti kata buku di kutipan tadi dengan musik/album, kita dengan mudah menemukan kesamaannya.

***

Mundur jauh beberapa tahun ke belakang. Nama Durga pertama kali saya dengar kurang lebih delapan tahun-an lalu di sebuah kamar kost seorang kawan dalam sebuah video amatir format mp4 beresolusi rendah, pada siang terik jam-jam pulang kuliah. Diputar lewat komputer jadul ber-pentium 4, dengan perangkat suara seadanya: speaker-multimedia berfrekuensi-rendah-setengah-bocor, yang bass dan treble nya kurang seimbang.

Di kemudian hari saya menyadari bahwa itu adalah video live mereka di Rumah Pirata dalam rangka tur promosi album kedua yang diberi titel: Kuldesak.

Kesan pertama yang tentu saja tak menarik perhatian, mengingat jam-jam itu adalah jam-jam paling kusut campuran lapar dan ngantuk. Selain itu, kualitas video dan audionya yang demikian rendah tak memberikan saya cukup energi untuk menyimaknya lebih jauh. Dan kalau tak salah ingat, di kurun ini pula saya diperdengarkan dengan sebuah album luar biasa berjudul Dorr Darr Gelap Communique milik Hark! It’s A Crawling Tar Tar yang legendaris itu. Lagi-lagi melalui PC tadi.

Meski kondisinya sudah uzur dan mengenaskan—dengan beberapa bagian CPU yang berlumur debu dan karat—PC itulah yang sedikit banyak berjasa bagi pembentukan selera saya di kemudian hari. Di dalamnya berisi harta karun berharga berupa artefak band-band penting khususnya Bandung. Dari PC ini pula, saya mengenal Homicide, Domestik Doktrin, Fukk Bar Culture, Milisi Kecoa, hingga yang paling legendaris: Puppen.

Setelah beberapa waktu sebelumnya merekomendasikan Hark!, kawan saya ini lalu menyodorkan video itu sebagai lanjutan, memberi tahu bahwa ada sebuah band asal Cipanas yang luar biasa bernama Durga, yang ia klaim punya jenis musik yang tak jauh berbeda dengan Hark!. Dorr Darr gelap jilid dua?

Jarak umur kami terpaut cukup jauh, saya yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa baru, sementara dia adalah seorang koboi kampus yang saat itu sedang sibuk mempersiapkan sidang akhir kelulusan. Dari dia lah saya banyak diperkenalkan dengan kultur punk. Fanzine pertama yang saya baca, saya temukan di kamar kost itu.

Sementara saya yang masih dalam proses mencerna Hark! dan belum begitu klop dengan jenis musiknya, kali ini harus diberi tugas menyimak Durga, di momen dan suasana yang kurang pas pula. Panas terik, lapar, nelangsa.

***

Sekian bulan berlalu, perjalanan mencerna Hark! menemukan momentumnya, saya mulai bisa menikmati albumnya dan secara otomatis jadi soundtrack menemani waktu-waktu kuliah. Diputar berbulan-bulan sebagai teman perjalanan dari rumah menuju kampus. Tentu saja dalam format mp3.

Setelah jatuh cinta dengan Hark!, tentu saya penasaran dengan roots musik yang mereka bawa. Dan lewat Hark! lah saya kemudian mengenal band-band seperti: His Hero Is Gone, Tragedy, From Ashes Rise, ataupun Anti Cimex. Ada sebuah kecenderungan unik dalam proses mencari roots ini, saya justru banyak mengenal band-band pendahulu yang menjadi akar lewat band-band lokal terlebih dahulu. Hampir semua saya kira, mengenal Motorhead, Slayer atau Sabbath lewat Seringai, mengetahui band obscure bernama Godspeed You! Black Emperor dan Neurosis dari Homicide, dan tentu saja His Hero Is Gone atau From Ashes Rise dari band bernama Hark! It’s A Crawling Tar Tar.

Sekian waktu berlalu, dan nama Durga sempat hilang tak tercatat dalam ensiklopedia musik saya, hingga pada 2020 lalu momentumnya datang, mereka muncul kembali ke permukaan, menyentuh rasa penasaran. Kali ini di momen dan waktu yang pas, juga dengan kesiapan yang lebih matang.

Mereka kembali muncul dengan materi baru, mengusung musik yang dulu Hark! pernah perkenalkan, dengan wilayah yang tak jauh-jauh di seputaran His Hero Is Gone, Tragedy, dan juga beberapa potong Martyrdod, Wolfbrigade, Victims, Disfear dan selusin band-band Swedish sejenis yang mereka comot. D-beat/crust dengan kepul asap pekat blackened. Banyak orang menyebut jenis musik ini sebagai neo-crust. Namun apapun itu, saya tak begitu mempermasalahkan soal penyebutan tadi.

Selain musiknya yang intens, senjata kuat album ini tentu saja ada di fill-fill gitarnya yang menohok, yang di beberapa sisi terdengar disonan namun anehnya bisa kawin dengan beat dan groove-groove yang mereka bangun di sepanjang lagu, hingga dengan cepat menempel pada saat pertama kali mendengar. Sang engineer berperan penting dalam proses ini, ia dengan cerdik menempatkan fill-fill ini di depan, dominan dari instrumen lain. Setelah saya baca di sleeve album, proses mixing dan mastering-nya dilakukan oleh tiga orang engineer, di antaranya: Rei Prayoga, Azi, dan juga Toteng. Dengan ilustrasi yang dikerjakan oleh MFAXII yang cukup menggambarkan aura album: muram dan mencengkam.

Untuk departemen lirik, hal lain yang patut diapresiasi adalah cara mereka meramu diksi-diksi indah tanpa perlu terjebak menjadi corny dan sok puitis. Kepiawaian menyusun kata-kata eksotis menjadi kalimat penuh arti dan berpantun. Sebagai contoh, saya kutipkan satu bagian di track Menggapai Utopia: “Rekahlah kau hidup, hidup yang terhirup/ jabat aku di Exharcia, menjawab semua tanya pertanda.”

Atau pada dua bait terakhir di track berisi spoken-word, Neurastania, yang mengundang Acil dari Wreck untuk berkolaborasi: “Geram ini hadirkan kalut dan tak mau menyurut/ lebur, bilur menepi di setiap memori

Sumir dan enigmatik.

***

Momentum adalah rilisan ketiga mereka setelah sebelumnya merilis demo pertama: Karnaval Para Komunal pada 2012; dan Kuldesak di tahun 2013. Materi berisi tujuh lagu baru tanpa satupun track filler di dalamnya.

Sebelum resmi dirilis dalam format kaset pita oleh Husted Youth pada 2021, album ini dirilis terlebih dahulu dalam format digital lewat berbagai platform streaming pada tahun 2020.

Inilah mungkin salah satu alasan khusus mengapa mereka merilisnya di tahun 2020, karena album ini adalah sebuah dedikasi dan penghormatan bagi gitaris mereka yang berpulang terlebih dahulu pada 2016 lalu. Di tahun penuh kehilangan kala wabah mampir, memporak-porandakan semua lini kehidupan, membuat album requiem bukanlah ide yang buruk.

Tak berlebihan jika menyebut band ini sebagai legacy Hark! dan menyandingkan Momentum dengan Dorr Darr Gelap Communique bukan sebuah dosa besar. Sampai titik ini, saya perlu mengakui kebenaran kutipan tadi. Mirip seperti mencerna buku, kadangkala proses mencerna musik bisa juga datang dengan cara yang sama. Yang saya butuhkan hanyalah kesabaran, menunggu momen sebuah album untuk membukakan diri, lewat cara yang kadang tak terduga-du(r)ga.