Print is Not Dead, Anymore

Print is Not Dead, Anymore

Dalam dunia seni rupa, ada salah satu disiplin yang menjadi pionir utama di dalamnya, yaitu seni grafis. Bidang yang dikenal dengan manual print dalam eksekusi berkarya nya, terdapat banyak teknik serta hasil yang beragam. Salah satunya menghasilkan poster.

Belakangan ini, poster seringkali hanya menjadi pengantar iklan, atau sekedar penambah estetika pada sebuah materi. Bila ditarik cerita, fungsi juga keberadaan poster sangat penting, terutama di bidang seni rupa secara politis.

Beberapa fungsi poster yang dirasa krusial yaitu sebagai pengantar catatan, akhir-akhir ini visual poster yang disajikan oleh para pegiat sangat jauh dari memuaskan. Dengan pendalaman asal-asalan, rekonstruksi gagasan yang sangat membosankan, ketidak tepatan komunikasi yang terdapat banyak cacat.

Menelisik poster iklan Benetton Clothing, sebuah brand asal Italia yang pernah menampilkan sebuah poster kontroversial, mantan presiden Amerika Serikat Barrack Obama berciuman dengan mantan orang nomor 1 di China, Hu Jintao. Berita tersebar ke seluruh dunia, gedung putih geger dengan keberadaan poster iklan tersebut. Dan mereka (Benetton Clothing) berhasil, dalam segala aspek disiplin seni grafis.

Secara fungsi advertising, mereka berhasil meyakinkan tujuan pengiklanan tersebut. Tagline  “Unhate” sangat kuat menyelimuti visual nya. Jika dilihat dari kajian keseni rupaan, terdapat banyak aspek yang memenuhi konvensi. Visual yang menggelitik, kampanye perdamaian berbalut satire. Dan itu semua yang seharusnya dilakukan para pegiat grafis hari ini.

Kedudukan Poster dalam Seni Rupa

Melihat garis sejarah, orang-orang telah menggunakan seni untuk menginisisi kepercayaan dan tingkah laku satu sama lain. Seni telah menempa kita, untuk membewarakan opini. Dan ini dilakukan juga dengan membuat sebuah karya poster.

Sejak zaman dunia kuno, hingga dunia modern. Dari perang kekuasaan Alexander Agung hingga revolusi Kuba. Poster menjadi salah satu senjata untuk mempropagandakan masyarakat, menjadi katalis, penyampai pesan agar masyarakat lebih tertarik untuk melihat. Dan disitulah kekuatan visual berbicara.

Untuk sekedar menyadarkan masyarakat akan adanya wacana yang ingin disampaikan, harus dipastikan visual yang tersaji harus memenuhi segala aspek. Colin Moore dalam buku jurnalnya yang berjudul “Propaganda Prints: A History of Art, In The Service of Social and Political Change” mengatakan bahwa sebuah poster propaganda tidak melulu harus menampilkan darah dan senjata, tak melulu menampilkan sosok orang fasis yang dipenggal. Tetapi dengan satu seruan kata yang dikonversikan menjadi visual secara menarik dan utuh, itu pasti akan bekerja.

Poster sejak awal memang menjadi alat politis, di berbagai bidang. Namun dengan berkembangnya zaman serta sunia pendidikan seni rupa, poster yang terdapat pada konsentrasi seni grafis berkembang menjadi media kekaryaan yang terlepas dari sisi propaganda. Salah satu seniman grafis yang sangat konsisten dibidangnya yaitu Shepard Fairey, atau lebih dikenal dengan nama Obey Giant. Diluar aktifitas berkarya yang kebanyakan tentang protes sosial-politik, beberapa karya obey banyak terdapat di pameran-pameran seni yang jauh dari tema tersebut. Dengan disadari berkembangnya gagasan dalam penciptaan sebuah poster menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan.

Kedudukan poster seringkali dianggap rendah oleh para pegiat, juga penikmat seni. Banyak stereotype yang menyebut bahwa poster adalah seni kelas rendah, disebabkan sering digunakan dalam banyak tempat. Tidak seperti lukisan atau patung konvensional, yang disimpan di berbaai museum elit, makanan bagi para borjuis. Padahal, dari segi proses pembuatan, seni grafis menjadi salah satu media yang paling rumit, banyak sekali proses yang harus dijalani secara sistematis, salah sedikit harus mengulang sedari awal. Konstruksi sosial yang membuat kedudukan poster berada dibawah karya seni dengan media lain yang membuat para pegiat grafis kadung meninggalkan dan jarang yang ingin mempelajari bidang ini.

Manual Print di Era Digital

Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyamanan perangkat digital memudahkan para pelaku grafis untuk membuat materi, terlebih dalam berkarya seni. Cetak manual grafis dirasa kuno, lamban, dan sulit. Adanya perangkat digital menjadi jalan pintas, tetapi terdapat banyak gagap dalam proses pembuatannya.

Alih-alih mengembangkan media, dalam proses pembuatannya para pegiat grafis seperti menanggalkan banyak aspek yang harus terdapat dalam pembuatan sebuah karya seni, ditekankan dalam media grafis.

Mencintai proses adalah perjuangan menyuarakan gagasan. Kepentingan dalam pembuatan poster secara manual bukan hanya dilihat dari hasil akhir karya, tetapi bagaimana proses pembuatannya terlibat sangat besar. Bahkan bisa dikatakan yang pantas dipamerkan dalam kontes seni grafis yaitu jalan menuju karya nya, dan karya tersebut adalah hasil dari panjangnya proses penciptaan.

Bahkan dibeberapa tempat, cetak manual menjadi alat komunal untuk menjalankan ekosistem masyarakat. Beberapa komunitas yang tersebar menjalani cara tersebut untuk menyadarkan bahwa proses cetak manual adalah hal yang menarik. Bahkan diluar akademi formal pun, cetak manual masih sangat dihormati keberadaannya.

Keberlangsungan Cetak Manual dalam Sebuah Pagelaran

Di berbagai negara, cetak manual berada dalam posisi yang menyenangkan, banyak acara atau pameran yang menampilkan hasil karya cetak manual dalam bentuk poster. Seperti yang dilakukan Etam dan koleganya di Polandia, mengadakan sebuah pameran grafis dengan skala besar. Bertempat di sebuah gudang besar yang disulap menjadi ajang pamer para pegiat grafis untuk memamerkan hasil karyanya. Juga terdapat banyak lapakan bagi pengunjung jika ingin membeli karya langsung.

Beberapa waktu lalu, Boredoom, sebuah kolektif seni yang berkonsentrasi di bidang poster. Mengadakan sebuah acara dengan tema “Cetakan Cetak!”. Sebuah acara pajang karya seni grafis cetak manual yang diadakan di Keepkeep, Kiputih, Bandung.

Boredoom sebagai inisiator acara ingin menumbuhkan kembali kultur poster yang hampir hangus, terkhusus di Bandung. Diikuti lebih dari 20 seniman grafis, dengan macam-macam karya yang menarik. Boredoom berikrar bahwa mencetak karya menggunakan media konvensional untuk mengurangi kebosanan akan cetak digital.

Dalam hal ini, satu hal yang harus diapresiasi adalah kehangatan mereka dalam mengadakan pameran. Tak perlu eksekusi dalam skala besar, sekedar menumbuhkan minat orang-orang untuk melihat bahwa masih banyak pegiat grafis yang melakukan metode cetak manual dirasa sangat waras, dan menyenangkan.

Keberlanjutan acara seperti ini yang harus ditumbuhkan. Bukan hanya Boredoom, kolektif seni lain pun harus berani unjuk gigi untuk memamerkan karyanya. Semoga Boredoom dengan “Cetakan Cetak!” nya dapat menjadi stimulus bagi orang-orang yang ingin menggeluti bidang grafis, khusus pada cetak manual. Semoga berlanjut, dan tak pernah usai. “Print isn’t Dead, Even Though The Biggest Machine Already Destroy It. Print Is Not Dead, Anymore.”