Omong Kosong Rilisan Fisik

Omong Kosong Rilisan Fisik

Semenjak vinyl hype, semua orang lalu berlomba mengoleksi satu persatu rilisan musisi-musisi favoritnya. Lantas dengan tergesa dan sok keren, melabeli diri dengan bermacam self-proclaimed semodel: vinyl junkie; cassette junkie; music enthusiast; eargasm; bla bla bla. Dengan tak lupa untuk sesekali memposting koleksinya yang tak seberapa dan jarang diputar itu di Instagram lengkap dengan tagar #nowspinning atau #nowplaying. Tapi ya, sesekali pamer memang tak ada salahnya.

Musisi-musisi pun tak kalah latah, rilisan-rilisan mereka sedikit-sedikit di-vinyl-kan, di-kaset-kan dengan dibubuhi embel-embel Record Store Day. Otomatis mengundang para spekulan untuk membeli lalu melelangnya di kemudian hari dengan harga melambung tak masuk akal. Apalagi jika dicetak hanya beberapa keping: Rare, yang otomatis menambah nilai jual rilisan tersebut.

Argumen tipikal yang sering muncul tentang konsumsi musik lewat rilisan fisik adalah faktor kenikmatan; mendengarkan musik lewat rilisan fisik jauh lebih nikmat.  Seolah-olah cuma itu satu-satunya cara menikmati musik. Namun yang paling menggelikan dari sederet klaim tentang konsumsi rilisan fisik adalah klaim tentang bagaimana rilisan fisik mampu membentuk mental si konsumen dalam mengapresiasi karya si pencipta. Singkatnya: konsumsi musik secara digital tak mendidik. Wow! Setelah muncul aturan-aturan menonton konser, aturan mendengarkan musik yang baik dan benar sangat masuk akal untuk dibuat. Nampaknya kita sudah harus punya lembaga khusus yang menangani pendidikan mendengarkan musik. Patut dipertimbangkan.

Agak aneh klaim-klaim model begitu dilestarikan oleh generasi yang besar di era yang hampir semua hal bersangkutan dengan dunia digital. Generasi tanggung yang termakan ocehan generasi tua yang gemar bernostalgia tentang betapa serunya era mereka muda, dengan segala keterbatasan akses informasinya.  Lalu terbuai dan seolah jadi bagian dari generasi itu.

Akses informasi yang tak terbendung dan serba cepat kemudian dikambing-hitam-kan, jadi penyebab segala bentuk dekadensi yang hari ini hadir, termasuk soal tetek bengek apresiasi tadi. Kepemilikan rilisan fisik dijadikan satu-satunya tolak ukur wujud apresiasi fans terhadap karya sang musisi. Seolah-olah yang mendengarkan lewat download atau streaming-an dicap tak bisa mengapresiasi: fans musik KW-an. Posser, wannabe, atau apapun istilah yang cocok. Yang punya rilisan fisik sudah pasti pandai mengapresiasi. Padahal ya tidak selalu. Apresiasi kemudian hanya berhenti pada taraf konsumsi. Fans membeli, musisi untung. Selesai.

Rindu masa-masa susah, namun di saat yang sama, justru uring-uringan jika koneksi internet di ponselnya lemot atau terputus. Semenyedihkan itu kita ternyata.

****

Setiap era selalu punya tren atau orang-orang menyebalkan, dan mengklaim satu era tertentu sebagai yang paling gemilang adalah kengawuran tanpa cela. Hanya berjarak satu tingkat di bawah delusional.

Saya tak yakin, tujuan semua orang yang membeli rilisan fisik adalah semata penghargaan atau apresiasi terhadap karya musisi. Sejak buku hanya cantik dipajang ketimbang dibaca, sejak makanan hanya enak untuk difoto ketimbang dimakan, atau sejak apresiasi hanya berwujud tombol like dan share, mengapa malu untuk mengakui bahwa tujuan membeli rilisan fisik sekarang hanya sebagai koleksi? Alasan itu jauh lebih masuk akal ketimbang alasan-alasan klasik tadi. Dan tak ada salahnya pula. Setidak berguna apapun koleksi kita jadinya, tak pernah ada yang salah dengan mengkoleksi. Termasuk jadi spekulan sekalipun.

Kita—atau saya khususnya—adalah generasi yang hidup di era di mana kaset atau vinyl tak begitu punya peran penting dalam aktifitas mengkonsumsi musik. Generasi kita besar di era mp3 download-an. Besar di era mp3-bajakan-lima ribu perak-an yang kita copy ke mp3 player. Di era Myspace berada di puncak kejayaan. Kaset, cd, atau vinyl setidaknya jadi barang mewah. Uang saku saya tak pernah mengizinkan membeli barang-barang itu. Juga di era teknologi sudah mulai bersahabat, mendownload puluhan album dalam sehari sangat memungkinkan. Dan saya tak menyesal atau berusaha naïf dengan mengatakan bahwa itu adalah dekadensi. Saya menikmatinya.

Satu hal: kita masih dapat menjadi penikmat atau mengapresiasi karya musisi favorit tanpa perlu repot-repot memaksakan untuk membeli rilisan fisiknya. Dan saya tak sepakat dengan argumen bahwa kepemilikan rilisan fisik berbanding lurus dengan wujud apresiasi fans terhadap musisi. Sesuatu yang saya tak yakin berhubungan.