Beyond Crap: Diantara Publik dan Molotov Seni Rupa

Beyond Crap: Diantara Publik dan Molotov Seni Rupa

Sebagai manusia–mungkin pada umumnya–seringkali takut dan segan untuk mengungkapkan opini, kritik  atau sejenisnya atas apa yang terjadi di sekitarnya; takut akan diadili masa, merasa terasing, dicap tak sejalan dan lain sebagainya. Mungkin wajar jika perasaan tersebut selalu menghantui, seperti paranoid akan tatapan sinis orang lain. Demokrasi itu utopis. Kita semua tahu itu. Dengan adanya ‘keterbatasan’ tersebut, semakin sempit juga kotak suara yang dapat mengakomodir, bahkan di kanal-kanal media sosial sekalipun.

Mungkin hal diatas menjadi salah satu dari berbagai pertimbangan hadirnya pengguna profil anonim. Di berbagai media kita banyak menemukan akun-akun dengan identitas anonim, baik itu sebagai akun penyebar shitpost, buzzer politik, personal yang tak mau mengungkap identitasnya atau pelaku seni yang dengan sengaja menjadi anonim. Kita tahu dibelakang itu semua ada ‘makhluk nyata’ yang mengoperasikan. Ada beberapa alasan bagus untuk anonimitas, salah satunya untuk mengontrol data pribadi serta akses bagi siapa saja yang dapat membantu terhindar dari peraturan-peraturan karet yang dapat menjerat, serta dapat lebih leluasa berpendapat tentunya.

***

Menjadi anonim untuk kepentingan masing-masing pun bisa sejalan dengan kepentingan publik. Tanpa harus tahu siapa yang berbicara, apa yang menjadi keluh kesah tanpa bisa diutarakan bisa ditemukan melalui peran-peran para anonimus. Seperti halnya bisa kita lihat dalam sosok Beyond Crap, ilustrator dan komikus yang banyak bersuara soal medan seni rupa. Dengan gaya gambar ala komik strip lawas Amerika, Beyond Crap (yang selanjutnya akan ditulis dengan nama BC) hadir menjadi suara dari dirinya sendiri atau mungkin sebagai kelompok yang menciptakan sosok baru untuk tugas tersebut.

Melihat karya-karyanya, BC banyak menyinggung bagaimana akitivitas-aktivitas dalam ekosistem seni rupa berjalan, seperti apa para aktor yang terlibat memerankan aksi dan manuver-manuvernya. Dengan penyampaian sarkastik dan menggelitik, BC menggambarkan realitas melalui komik, tentu tambahan hiperbola dalam visual dan teks adalah bumbu penyedap rasa dari karya-karyanya. Coba lihat satu karya dari akun instagramnya (@beyond.crap) dengan judul “si Kritikus & si Garda Depan (avant garde)”, BC menggambarkan seorang yang disebut kritikus seni rupa, komplit dengan gaya perlente berbalut syal di leher bersama seorang “si Garda Depan” yang sudah tentu seorang seniman. Apa yang ia sampaikan adalah hal umum yang sering terjadi di praktik dan aktivitas seni rupa, hal-hal menyebalkan yang sering dianggap lucu. Seperti apa arogannya seorang “kritikus” dengan segudang pengetahuannya dan slengeannya seorang seniman “avant garde” yang menyeringai berbicara tentang karyanya. Hal ini adalah potret lumrah yang sering dibicarakan oleh publik, seperti apa seorang seniman dengan penampilan yang digambarkan oleh BC dan seorang kritikus yang terasa jauh posisinya dengan publik umum, seolah memperlihatkan kelas yang berbeda. Kelihaian BC dalam memvisualisasikan adegan tersebut sangat terbantu pula dengan teks yang kontekstual dan korelasi yang pas, serta hal terpenting adalah mudah dipahami.

Anggap penyamaran ini adalah sosok “nyata” yang hadir di kehidupan sehari-hari, anonimus atau tidak itu urusan kesekian. BC mungkin memiliki pandangannya sendiri soal apa yang ia presentasikan. Bisa jadi ada “tokoh” yang tersinggung dengan apa yang BC sampaikan, namun tentu banyak publik yang menikmati karya-karyanya, dengan mengimajinasikan karya BC di kehidupan nyata, dapat ditebak senyum kecil pasti muncul setelahnya. Jika mengacu pada konsep parrhesia, BC adalah sosok yang berani untuk bersuara–melalui komiknya–serta tahu resiko apa yang mungkin akan diterima; akun media sosial bisa tiba-tiba hilang, diketahui sosok “asli” yang akan mengeser opini tentang BC, atau seekstrimnya mendapat ancaman atau pesan spam yang aneh. Namun sekali lagi, yang ia gambarkan adalah realitas; sebuah kenyataan-kenyataan yang umum terjadi dalam gerak-gerik di meda seni rupa, bahkan melalui komik sekalipun yang biasa dikenal dengan cerita fiksi. Ia berada diantara persimpangan realitas dan fiksi, apa yang harus ditanggung BC yang meng-anonimkan sosoknya tetapi karya-karya yang disuguhkan adalah cerminan dari apa yang terjadi dalam drama-drama di medan seni.

***

Di paragraf sebelumnya disebutkan bahwa karya-karya BC adalah pandangannya soal apa yang dipresentasikan, satu sisi ia berperan sebagai sosoknya sendiri, namun disatu sisi ia pun menjadi penyambung lidah publik yang memiliki pandangan yang sama, yang mungkin sungkan untuk menyuarakan perihal tersebut. Tentu itu bukan tugas BC sebagai seorang seniman–atau bisa disebut pula seorang aktivis(?)–yang harus memikul beban opini publik, tak perlu sejauh itu ia menjadi relawan yang mulia. Walaupun begitu, disini menariknya, ada sosok yang mewakili, memiliki kawan dengan semangat yang sama dan mampu mempresentasikannya seperti menambah teman baru, meski tanpa pernah bertemu.

Seperti Banksy, Lushsux, Blu, Dede, Black Hand dan seniman lain yang menutup rapat-rapat identitas aslinya, jika ada yang mengetahui siapa dibalik nama tersebut atas dasar aturan tak tertulis pasti tak mengungkapnya, karena beberapa alasan dan kepentingan. Mereka pun sama, apa yang telah dilakukan dan divisualisasikan adalah fenomena-fenoma yang terjadi, dan relevan dibaca oleh publik dari seluruh kalangan. Karena itu mengapa tak heran jika di setiap situs digital, nama Banksy selalu menjadi nomor satu dalam daftar “top artist” dunia, mengalahkan da Vinci. Apa lagi jika bukan kegilaan hari ini, seorang tanpa tahu itu siapa dapat menjadi sosok paling dipuja dan dicari.

BC mungkin bukan sosok anonim pertama di Indonesia, sudah ada beberapa seniman dengan menutup identitasnya telah melakukan praktik ini sebelum BC. Namun dengan semangat yang sama, BC hadir atas dasar kerumitan dunia/ekosistem/medan seni rupa yang terlampau rumit dan jauh dari obrolan “warung”, BC mendekatkan isu-isu tersebut melalui karyanya, memudahkan publik untuk mengetahui apa saja yang terjadi didalamnya.

Tulisan ini mencoba untuk tidak merumitkan persoalan ulasan tentang seni rupa, dan BC–sekali lagi–menjadi wakil dalam tulisan ini untuk menjembatani. Kembali ke persoalan parrhesia, yang seharusnya melalui cara oral jika mengacu pada sang pencipta konsep, Foucault, BC bermanuver dengan cara dan kapasitasnya sebagai seniman visual; membagikan hal-hal penting, menyebalkan dan jenaka. Serta kita sebagai publik ikut serta menikmati buah pemikiran BC, dari selembaran-selembaran komik strip yang disebarnya, sebagai media penghubung informasi dan pengetahuan yang ramah dan bersahabat untuk dibaca.

Foto dari: instagram @beyond.crap