Menantang Hari Kiamat bersama Senyawa dan Swansea Sound

Menantang Hari Kiamat bersama Senyawa dan Swansea Sound

Indie-pop nampaknya mengandung kontradiksi dan ironi. “Indie” yang sering diasosiasikan dengan etos Do-It-Yourself, ideologi perkawanan, antikomersialisasi, dan doyan dokem di arus pinggiran malah disematkan dengan kata “pop” atau “populer” yang berada di seberang jalan.

Sebenarnya, saya tidak tahu pasti apakah istilah indie-pop ini ironis atau tidak. Dulu saya sering menggunakan istilah indie-pop, tetapi baru menyadari (baca:menduga) adanya ironi dalam istilah tersebut ketika menggarap tulisan ini. Pikiran tersebut muncul setelah saya menerima kaset single “Indies of the World” dari unit indie-pop (muncul lagi dia) asal Inggris, Swansea Sound.

Indie-pop dahulunya saya kenal sebatas genre yang identik dengan musik manis dengan lirik sederhana, penggemar juga pemusik berpakaian cerah, juga banyak pelakunya yang berkacamata seperti kutu buku. Swansea Sound melabrak imaji dangkal tersebut sejak sampul kaset. Sampul dengan tone warna yang muram menghadirkan kolase foto kota dan aksi massa yang lengkap dengan orang-orang menggenggam papan protes bertuliskan “organise”, “resist overporduction”, “spotify corruption”, dan “indies of the world” – yang membuat saya langsung terbayang kata “unite!” di kepala. Sampul album indie-pop yang biasanya penuh warna dan relatif cerah malah seperti sampul pamflet politik dengan banyak kutipan propaganda.

Jika menilik masa lalu lebih dalam, indie-pop memiliki latar belakang historis yang sangat politis. Apalagi jika kita cukup doyan mendengarkan musik punk, kita akan mafhum bahwa indie-pop berbagi meja dengan punk – meski tidak duduk di kursi yang sama. Kemiripan mereka berada di wilayah bebunyian, konten lirik, dan semangat yang diusung.

Pada awal kemunculan indie-pop di Inggris, kita akan menemukan beberapa label berpengaruh: Rough Trade Records (London), Sarah Records (Bristol), Factory Records (Manchester), dan Creation Records (London). Tiga label pertama yang menjadi pionir memberikan pengaruh besar bagi indie-pop dalam berbagai aspek.

Indie-pop muncul sebagai respon dari senjakala dedengkot punk: akhir dekade 1970 ketika Sex Pistols dan The Clash menandatangani kontrak dengan major label: EMI Records. Tiga label yang disebut di atas bersama beberapa roster mereka (mencoba) menjaga warisan punk (estetika dan sikap politik) dengan cara yang berbeda: lebih santai dan tidak nampak sangar, tetapi tetap menantang.

Rough Trade (yang menjadi rumah dari Scritti Politti, The Motorcycle Boy, Galaxie 500, dan The Smiths) secara gamblang mendaku dan mempraktikkan prinsip sosialisme. Pada 1978, mereka membangun The Cartel (atas ide anggota baru Rough Trade, Richard Scott) yang merupakan jejaring kolektif berisi 7 label dan toko rekaman fisik independen se-Britania Raya. Prinsip yang diterapkan dalam The Cartel adalah kolektifitas dalam produksi rekaman (bahkan untuk para personel band) dan distribusi atas rekaman tersebut. Sarah Records (label Blueboy, Sea Urchins, The Field Mice, dsb) berbagi spektrum dengan Rough Trade hanya saja lebih radikal dalam urusan egalitarian dan antikapitalisme. Sarah juga sangat memeluk feminisme sebagai ideologi label dalam praktik kerja mereka – salah satu pendiri Sarah adalah seorang perempuan. Pemilihan nama “Sarah” sendiri dilakukan untuk menonjolkan sisi perempuan dan feminim yang jarang ditemui di skena musik saat itu. Factory Records (rumah Joy Division, New Order, dan happy Mondays) memrpraktikkan pemikiran kolektif seniman dan pemikir kiri asal Prancis: Situationis International – kolektif yang berperan besar pada demonstrasi besar-besaran Paris May ‘68.

Musik yang diproduksi para musisi indie-pop sarat pula akan muatan politis. Diskografi penuh dari The Smiths yang kekirian dan antimonarki tidak perlu dijelaskan lagi. Coba juga cek nomor ‘We’re All Bourgeois Now” dan seluruh katalog dari McCarthy, band yang politis sampai ke senar gitar. Di sampul belakang album debut “London 0 – 4 Hull” dari The Housemartins, tertulis “Take Jesus, Take Marx, Take Hope” juga terdapat nomor “Happy Hour” yang bernuansa joget-subversif. Pada gelombang indie-pop kedua, yaitu Britpop, masih terdapat muatan politik yang sama pada band semacam Pulp dan Belle and Sebastian.

Dari latar belakang historis seperti itu, tidak aneh jika Swansea Sound menghadirkan rilisan yang provokatif macam “Indies of the World”. Apalagi para personil Swansea Sound adalah dedengkot indie/twee-pop di Inggris: Hue Williams (The Pooh Stick) dan Amelia Fletcher (Talulah Gosh, Heavenly, Marine Research).

Indies of the world, make your contribution” membuka lagu ini. Terasa sekali nuansa ajakan untuk ikut dalam perubahan ala propaganda organisasi politik – tentu saja juga mirp ajakan bela negara Kemendagri. Di tempat lain juga masih tertulis yang senada: “resist overproduction”, “you gotta fight spotify corruption”, dan “what are you waiting for?” menjadi penutup lagu. Selayaknya propaganda, lagu ini juga menawarkan harapan: “”

Lagu provokatif semacam ini sebenarnya sudah banyak dan yang membuat mereka menarik bukan hanya latar belakang historis musik indie-pop dan konten lirik Swanse Sound, tetapi ajakan mereka di tengah konteks industri musik mutakhir dan praktik perilisan single yang mereka lakukan.

Sudah bukan rahasia kalau Spotify menjadi gergasi platform digital streaming musik. Juga, nampaknya bukan rahasia lagi jika royalti yang diberikan Spotify kelewat gawat untuk kelangsungan hidup para musisi. Sudah banyak yang membahas bagaimana platform digital streaming macam Spotify, Apple Music, dll tidak bisa memberikan sistem bagi hasil yang baik. Sudah banyak yang membahas dan mengkritisi (salah satunya adalah feature panjang Vice berjudul “Dibayangi Kapitalisme, Kita Harus Mencari Format Bisnis Streaming Musik yang Etis” garapan Dayna Evans), yang tersisa adalah apa yang harus dilakukan?

Tentu saja tidak ada manual tunggal untuk lepas dari problem ini. Dominasi Spotify dan layanan digital streaming lain telah memberikan sumbangan besar pada perubahan konsumsi, produksi, dan distribusi musik. Mengubah semua itu dalam waktu satu malam adalah mimpi di siang bolong. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Salah satunya telah dilakukan oleh Senyawa lewat perilisan album Alkisah (2021) yang dirilis oleh 41 label berbeda di beberapa negara, juga oleh Swansea Sound yang merilis single “Indies of the World” ini melalui empat label independen di tiga negara berbeda (Inggris, Jepang, dan Indonesia).

There’s no need to buy an expensive import,” tulis Swansea Sound dalam deskripsi video klip single ini. Desentralisasi yang mereka lakukan bisa dibilang sebuah upaya menjauhkan diri dari pola distribusi dan konsumsi musik yang tidak hanya eksploitatif, tetapi juga membuat pendengar menjadi konsumen pasif. Pada saat yang sama, para penggiat industri musik juga ditantang untuk menjadi lebih peka atas ekosistem dan permasalahan mereka sendiri.

Konsep desentralisasi yang diterapkan Swansea Sound dan Senyawa mensyaratkan sebuah jaringan antar pelaku musik di tiap wilayah. Pasalnya, jejaring yang erat antarlabel dan pelaku musik, yang nantinya akan merilis rekaman, adalah syarat mutlak dari desentralisasi yang akan dilakukan. Pada saat yang sama, label dan orang-orang di baliknya mesti terlibat erat dengan komunitas (yang berarti juga erat dengan banyak gejala dan dinamika di dalamnya) di lokasi mereka berada.

Praktik desentralisasi yang bertumpu pada jejaring kuat antarpelaku di tiap-tiap wilayah ini menjadi penting ketika dikontekstualisasi pada kondisi produksi dan distribusi musik saat ini. Efek buruk dari dominasi layanan digital streaming macam Spotify dan kawanan korporasi besar lainnya sudah terasa dan konsep desentralisasi yang dilakukan Swansea Sound juga Senyawa bisa menjadi salah satu tawaran bagaimana para pelaku musik untuk bisa kembali merebut dan membawa kuasa (bukan kekuasaan) pada diri dan lingkungan mereka lagi.

Mungkin desentralisasi bukanlah manual tunggal memperbaiki ekosistem musik. Ini hanya berupa tawaran yang sedang dilakukan Swansea Sound dan Senyawa. Tidak ada keharusan menyalin praktik yang sudah ada. Semua mesti disesuaikan dengan gejala dan dinamika yang sedang terjadi di tiap tempat. Namun, sebagaimana prasyarat dari desentralisasi, jejaring yang kuat, kolektifitas, juga berbagi permasalahan antarpelaku bisa dijadikan gerbang bagi kemungkinan-kemungkianan lain dari bagaimana kita mengkondisikan lagi musik dan segala tetek bengek perayaan atasnya untuk diri dan lingkungan kita sendiri. Akhirnya, tawaran dari Swansea Sound dan Senyawa malih rupa menjadi tantangan, dan mengutip lirik single Swansea Sound rasanya cukup untuk menutup tulisan ini: Indies of the world, make your contribution!