Reaksi Psikotik Asylum Uniform

Reaksi Psikotik Asylum Uniform

“Big sunglasses very important. Big sunglasses, cool band. –Fenriz,” cetus seorang cybernaut di kolom komentar Youtube.

Ketika musim-isolasi mulai melanda separuh warga bumi di awal tahun 2020 lalu, salah satu dampak besar yang terjadi adalah matinya kehidupan di perkotaan, sehingga pada taraf tertentu, mencari kiat sukses bertahan hidup dalam skenario apokaliptik menjadi bekal khusus bagi si paranoid. Manusia-manusia haus hiburan dan atensi perlu memenuhi kebutuhannya. Musik selalu menjadi pelarian tepat, dan mendatangi langsung gigs kecil tersembunyi pada saat PSBB memberi semacam medium agar upaya membunuh penat tertunaikan. Sedikit terjun melanggar ketetapan umum social distancing, tetap coba bertoleransi, menjaga tekanan udara agar tidak sampai terendus Satpol PeePee, dan yang terpenting mampu menikmati pertunjukan yang ada dengan perasaaan ganjal yang memuaskan – kecuali kalian tidak peduli – dalam tarikan teratur nafas under the radar.

Asylum Uniform, nama yang bisa menjadi alasan untuk keluar kamar mengikis keparnoan dan ikut berpartisipasi di kerumunan makruh pelahap denyat-denyut musik elektronik. Provokator EBM yang melarutkan synth punk, death rock, ambient, industrial, darkwave, dan sebut lagi saja bebunyian sejenisnya – menjadi satu dalam persona sepuh Alan Vega dan Martin Rev saat menyengat lantai CBGBs ’86, alias hipnotik, suram, dan menguhukum.   

Sialnya saya belum pernah menyangsikan langsung tindak-tanduk mereka, padahal dentuman techno yang keluar hasil dari fabrikasi piranti padat adalah musik yang tepat untuk dikonsumsi beriringan dengan cuaca cemas diluar sana. Hingga sabtu (17/4) lalu terunggah video berdurasi 13.01 menit live set mereka di kanal Youtube PARA – sebuah live session yang diinisiasi oleh Papah Cerewet, kolektif hura-hura yang sudah banyak menggelar mikro-gigs di beberapa sudut kota Bandung – memberi Asylum Uniform ruang untuk mengukuhkan kapasitas mereka, setelah debut EP Unconscious yang dirilis Ordo Nocturno disebut-sebut menjadi salah satu rilisan post-punk lokal tebaik tahun lalu bagi kalangan hadirin dan hadirat saksi pelancongan Drab Majesty di Hotel Monopoli.

Tentu saja. Ini akan jadi menarik. Pertama-tama, sikap yang dibutuhkan untuk mengikuti pertunjukan di sebuah ruang sempit dan berdebu seperti para/loteng adalah dengan tidak memiliki riwayat klaustrofobia, OCD, atau dermatitis atopik. Dan disamping saya, seorang teman memenuhi syarat kondisi-kondisi tersebut. Alhasil dia sedikit menggigil ketika tombol play baru saja diklik, “tenang . . . coba biasakan diri,” sotoy saya. Tidak tahan, dia lalu beranjak pergi mencari obat atau mencari apalah masa bodoh. Nomor pertama sudah berjalan satu menit. ‘Maximum’ judul yang dipilih mereka untuk trek intens beritme ketat. Motif rumit hasil penyerbukan silang VR SEX, The Soft Moon, Kontravoid, atau proyek Justin Broadrick jika terlalu jenius dengan nama JK Flesh.

Bharatadanu (Dystopian Dog, Criminal Gen) pada vokal, melafalkan lirik-liriknya sembari menjepit rokok di jari tangan kiri dengan tone vokal mencekik a la George Clarke atau Dylan Walker bila ditenangkan. Juga, disini ia terdengar lebih progresif dibandingkan dengan pengisian vokal pada Unconscious yang polos belum terdistorsi.

Trek pertama kemas, menuju nomor selanjutnya, tetapi . .  teman saya mendadak berdiri di depan layar berukuran 40”, sengaja menghalangi dan mengoceh tentang dirinya yang baru saja pergi ke laboraturium narkotika berjalan milik polisi, lalu membobol bagasi mereka dan mendapati dirinya tengah menggenggam beberapa sampel barang. Sehingga bisa dikatakan, saat ini kami memiliki dua kantong rumput – hijau dan coklat – tujuh puluh lima butir methylphenidate, lima lembar LSD berkekuatan tinggi, setengah penuh garam beserta tempatnya, vodka, sekotak bir pilsener dan lima miligram morfin.

Itu tadi merupakan narasi Raoul Duke dan pengacaranya ketika sedang menjemput american dream dengan bekal obat-obatan dan minuman keras berjumlah total tiga ratu dolar Amerika. Amunisi berlebih yang sebenarnya telak untuk menemani sisa perjalanan singkat ini – akan sangat mendukung bagi penyerapan sebuah rasa, diakibatkan sensitivitas syaraf kita menegang dan memberi efek kedalaman menyelami reka-pengalaman yang sedang terjadi. Nyatanya, teman saya hanya meracau gelisah tentang vertigo miliknya. Sungguh merugi, seseorang yang sering berhenti hidup tapi tidak kunjung mati, voilà.

Vertigo, akhirnya menjadi alat satu-satunya yang juga saya punya. Penyakitan. Namun kadang bisa bermanfaat untuk ketidakseimbangan. Mengutuk rasa sakit dengan cara berbalik memanfaatkannya, jadi ya . . .  Adityo Saputros (Etza Meisyara, Fa’al) menekan satu tombol pemicu di mesinnya, ‘Garbage’berjalan genit namun tidak dengan liriknya. Sementara Tony Shelby (Ant Sculpture, Haxan) pada gitar, absen untuk kehadirannya sejak dari awal.

‘Asylum Party’mulai digerakkan. Nomor terakhir. Penyudahan perlu untuk sempurna. Atas dasar sama rata saya mulai menyulut rokok, menyiasati ketegangan paling buruk antara atmosfer cyberpunk yang terpisah, tekstur yang merayapi kulit, dan urgensi primitivis – mereka semua siap untuk mengkontaminasi ruang gelap dimana para loser bersemayam. Trek ini mengendapkan kelenjar busuk di otak kanan. Dansa-dansi psikotik. Substansi yang tidak pernah menuntut lahir untuk menjadi ilegal, dilarang jika hanya sampai meringkuk overdosis.

“Give me one more,” Bharatadanu memelas di dalam layar – baiklah, beri lagi. Lewat yang satu ini persepsi akan berubah, sehingga kita dapat melihat keluar dari lubang mata yang benar-benar aneh. Kita semua memiliki sebagian besar pikiran yang terkunci. Berapa banyak? – mungkin dua lusin orang di dunia mengetahui rahasia ini. Salah satunya adalah Aldous Huxley dengan the Doors of Perception-nya. Dalam persepsi normal, indra mengirimkan banyak sekali informasi ke otak, yang kemudian disaring olehnya hingga setitik yang dapat dikelola untuk tujuan bertahan hidup di dunia yang sangat kompetitif ini.

Manusia telah menjadi begitu rasional, sangat bermanfaat, efisien untuk bertahan hidup, tetapi otak mereka menyaring bagian paling eksplosif dari pengalaman potensial manusia tanpa mereka sadari. Manusia primitif pernah mengalami banjir indra yang kaya dan berkilau. Bayi-bayi mengalaminya juga selama beberapa bulan – sampai pengkondisian menjadi ‘normal’ dengan menutup pintu di dunia lain ini untuk selamanya. Entah bagaimana, menurut Huxley, obat-obatan membuka pintu kuno ini. Dan melalui mereka manusia modern pada akhirnya dapat pergi, dan menemukan kembali hak lahiriah ilahi . . .

“ . . . Tapi ini semua sebatas lepehan kata-kata, lay! Dan elo nggak bisa mengungkapkannya hanya dengan kata-kata,” ujar teman saya.

P.s: Maximum, Garbage, dan Asylum Party tidak ada dalam EP Unconscious. Yang berarti, rilisan mereka selanjutnya patut untuk diantisipasi.