Nuran Wibisono: Eksistensi Media Musik dan Cinta Berhenti di Umur 30

Nuran Wibisono: Eksistensi Media Musik dan Cinta Berhenti di Umur 30

Industri musik sudah menjadi ekosistem yang semakin berjalan baik di masa ini, selain pemeran depan sebagai musisi, industri musik melibatkan banyak sekali pihak. Semua pemangku kepentingan hadir dan berperan sama pentingnya dengan musisi, dan dari beberapa pihak, sudah menjadi pemasukan utama untuk bertahan hidup.

Salah satunya adalah keberadaan media musik, yang pasti memiliki tugas penting di industri ini. Kehadiran mereka menjadi titik tumpu sumber informasi, juga penyimpan arsip bagi setiap kejadian yang penting. Contoh terpopuler yaitu Rolling Stone Magazine, media asal negeri Paman Sam yang telah terlibat di industri ini sejak tahun ’67. Konsistensi mereka dalam membangun dan memberi informasi seputaran musik dan kawan-kawannya, sampai berhasil ekspansi membuka portal lisensi ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri, media yang berkonsentrasi penuh membahas seputaran musik sudah muncul sejak dahulu. Beberapa contoh media berhasil menjadi pusat informasi bagi masyarakat. Hari ini, semakin banyak bermunculan media dengan gaya dan penyampaian narasi yang beragam, tak melulu bertumpu kepada media besar. Pemeran di balik media pun semakin banyak, dan salah satu putra potensial bangsa yang berkonsentrasi di penelitian tetang musik adalah Nuran Wibisono.

Pria asal Jember yang sempat bekerja di beberapa media, juga telah merilis buku ini mendedikasikan diri untuk penelitian mengenai festival musik sebagai lahan pariwisata negara. Penulis yang sangat mencintai glam rock ini banyak bercerita mengenai pengalaman dan pendapatnya mengenai eksistensi media musik, penelitian festival, dan kecintaannya kepada musik ‘80an.

Tentang nasib media musik, apakah masih bisa hidup untuk saat ini?

Kalau untuk media musik itu sebuah tantangan ya. Tapi untuk di Indonesia, media hiburan sepertinya tidak akan mati ya. Masyarakat disini masih membutuhkan cerita dari artis, hanya saja formatnya yang mungkin berbeda. Jika dulu orang-orang mencari informasi atau gosip dari acara di televisi, hari ini mereka lari ke instagram atau youtube. Dan jika berbicara soal media hiburan secara general, sekarang masyarakat lebih condong mencari informasi langsung ke personalnya, berbeda seperti dulu yang dirangkum oleh satu media/wadah informasi.

Perihal sedikitnya media musik saat ini, apakah ada perbedaan pola kerja dengan zaman dulu ?

Media musik selalu sedikit dari zaman dulu, hanya intensitas dan penyebarannya saja yang berubah. Jika dulu kita mendapat informasi melalui media cetak, ya hari ini kita disuguhkan berbagai opsi, salah satu contohnya lewat youtube atau spotify. Lebih kepada perkembangan zaman saja, dan itu tidak masalah. Beberapa media semacam Pop Hari Ini atau yang lainnya masih mengeluarkan konten-konten yang menurut saya masih bergaya sama dengan media musik dulu yang sekarang sudah tidak ada.

Kalau perbedaan yang bisa dicari, mungkin dari segi ekonominya. Ketika media hiburan, atau lebih spesifik media yang membahas tentang musik, sekarang ini agak berat. Jika dulu investor dan iklan memiliki ketertarikan besar kepada media musik, sekarang lumayan sulit. Mereka harus membangun badan usaha dengan pola baru yang bisa bertahan di masa ini.

Melihat dari kacamata seorang jurnalis, pelaku di industri hiburan sudah bisa hidup dari musik?

Wah, sepertinya harus tanya langsung ke musisi nih. Tapi kalau yang saya lihat, musisi yang jarang terekspos media populer memang menggantung hidup pada perkerjaan mereka sebagai musisi, contoh paling besar adalah penyanyi dan grup dangdut koplo. Bayangkan mereka dapat manggung belasan kali dalam satu bulan, yang sekali tampil dibayar 2-3 juta.

Secara pola kerja sepertinya sama dengan musisi arus utama macam D’Masiv, hanya saja mereka tampil dengan ekspos yang lebih kepada masyarakat.

Berarti tugas media yang tebang pilih materi atau sulitnya akses informasi?

Kembali lagi, karena kekosongan dan sedikitnya media yang membahas di bidang ini, jadi banyak batasan untuk mengumpulkan banyak materi. Walaupun sekarang akses digital sangat mudah, tetapi sejalan juga dengan percepatan arus berita yang setiap hari menyuguhkan banyak sekali informasi.

Bicara soal projek pribadi Nuran. Sempat berangkat ke Inggris, apa yang sedang dikerjakan?

Melanjutkan projek dari tesis saya, yang dikerjakan dari tahun 2012, tentang pariwisata festival musik, yang rencananya ingin disusun menjadi sebuah buku. Tetapi saya merasa masih kurang jika hanya bersumber dari tesis saja, apalagi tentang festival musik, yang memang banyak sumber yang dikutip dari Inggris, terutama London.

Cerita tentang tesis saya yang membahas soal pariwisata festival musik di Indonesia, contoh kasusnya Java Jazz waktu itu. Kenapa saya mengangkat Java Jazz itu karena salah satu syarat sebuah festival bisa diklaim sebagai destinasi wisata itu jika sudah berumur lebih dari lima tahun, dan Java Jazz lah yang memenuhi syarat tersebut, terutama mereka festival musik yang besar di Indonesia dan yang paling berkesinambungan.

Kembali bercerita mengenai pemilihan Inggris sebagai destinasi penelitian saya, Inggris termasuk negara yang menaruh perhatian khusus terhadap musik, terutama live musik. Disana sampai ada lembaga khusus dirancang untuk mengurus musik, yang bertugas membuat riset studi musik di setiap tahunnya untuk memberi masukan kepada pemerintah London.

Itulah mengapa Inggris menjadi tujuan khusus dalam studi saya, karena mereka menaruh perhatian khusus terhadap music tourism. Semua sudah diatur untuk menjadi pemasukan negara.

Jika dibandingkan dengan Indonesia, halangan terbesarnya apa? Mengapa masih sulit untuk menjadi negara yang dapat membuat festival musik menjadi sebuah pariwisata negara?

Pertama yang pasti yaitu sentralisasi, disini sangat dominan. Coba kamu cek berapa banyak festival besar yang hadir selain di kota besar macam Jakarta, atau Bandung, Jogja dan Bali. Infrastruktur semua berkumpul hampir di Jakarta dan sekitarnya, seperti venue dan bandara internasional.

Maka dari itu penting membuat alternatif-alternatif lain yang diselenggarakan di daerah selain kota-kota yang disebutkan tadi, agar ekosistemnya hidup dan mendobrak sentralisasi itu. Contoh nyata dari sentralisasi tersebut ketika saya pernah ngobrol sama kawan yang mengurus Prambanan Jazz, mereka sampai harus mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk transportasi dan logistik. Ya karena belum ada akses dan semua terpusat dari Jakarta.

Kedua, tantangan berat selanjutnya yaitu letak geografis disini. Misalkan, kalau di Amerika yang negaranya satu dataran pulau, bisa dijangkau. Disini karena negara kepulauan, semua jadi sulit mobilisasi

Kalau soal pemerintahnya, enggak usah diomongin lah ya.

Apakah ada harapan ?

Melihat kemampuan teknisi, event organizer, dan semua elemennya disini jago-jago, sangat ada harapan untuk bisa membangun sebuah festival berkelas. Tetapi untuk persoalan ekonomi sepertinya belum, dan itu tugas pemerintah, bukan pelaku industri kreatifnya. Masih agak lama lah perjalanannya, enggak bisa sekarang. Mungkin 5 sampai 10 tahun lagi, mungkin. Itu pun kalau serius mengurusnya.

Dulu sempat ada BEKRAF yang berkampanye akan memberi bantuan besar kepada para pelaku industri ini, tetapi mereka pun terbagi bukan hanya mengurus musik saja kan. Ada kuliner, desain, dan yang lainnya. Jadi belum ada satu lembaga khusus yang menaruh perhatian untuk mengurus industri musik.

Selesai penelitian dan dicetak menjadi buku, masih ada benang merah dengan buku pertama?

Yang pasti berbeda ya, karena di buku pertama kebanyakan kumpulan tulisanku yang sebelumnya sudah dipublish di blog pribadi. Pembahasan soal musiknya saja yang tentu sama, masih ada benang merah disitu.

Dalam buku Nice Boys Don’t Write Rock n Roll, Mas Nuran banyak bercerita soal kecintaan personal terhadap Glam Rock. Boleh cerita?

Glam Rock ya cinta pertamaku, hahaha. Sebetulnya di buku itu saya banyak cerita soal pengalaman personal tentang musik yang saya suka, tak terkecuali Moutley Crue.

Ada pembahasan menarik soal kecintaan terhadap musik, terdapat satu penelitian tentang pencarian musik secara intens berhenti di umur 30. Lewat angka itu, kita cenderung mendengarkan musik yang kita sukai dari remaja. Dari awal seseorang mulai mencari dan mendengarkan musik secara progresif, listening everything. Saat menemukan apa yang mereka suka, pasti melekat sampai kapanpun.

Coba saya tanya balik, waktu SMP kamu mendengarkan musik apa?

Punk Rock

Sampai sekarang pasti masih didengar, kan? Paling tidak pasti musik tersebut yang melekat di memori seseorang sampai kapanpun.

Oke, pertanyaan terakhir nih. Masih akan hadir terus media musik? Ketika itu dijalankan dengan semangat senang-senang, pasti masih akan ada. Mau itu media online, cetak buku, atau apapun.