Doddy Hamson: Budaya Poster Cetak Telah Mati, Komunal Coba Menyelamatkan

Doddy Hamson: Budaya Poster Cetak Telah Mati, Komunal Coba Menyelamatkan

Keringatnya tidak bisa menipu, juga alat-alat yang sedang diangkut ke dalam bagasi mobil – tampaknya mereka baru saja selesai latihan ketika saya tiba di halaman luar Subliminal Studio yang berlokasi di jalan Wira Angun. Sial, mungkin jika saya datang satu jam lebih awal, dengan senang hati saya akan menunggu untuk sesi wawancara ini sembari menyaksikan mereka bermain mentah nyerempet polosan, namun penuh kejujuran berseni seperti kebanyakan band ketika berada di dalam studio dengan kembali kepada fitrahnya, menyongsong tujuan utama nan semu: bermusik untuk bersenang-senang.

Angan-angan yang tidak berpadanan, lebih ke tidak tahu diri, dan mana mungkin itu semua bisa terjadi. Tapi tidak apalah, saya juga takut menjadi bosan ketika baru menyaksikan penampilan jarang mereka di Spasial beberapa waktu lalu. Ya, jarang,  memang tidak berlebihan – perihal Komunal yang tiap tahunnya tidak lebih dari empat kali berada diatas panggung, menyerang rock n roll yang telah mati.

Setelah selesai membereskan peralatan dan hal lain yang berhubungan dengan latihan, juru vokal mencuri sedikit waktu untuk menyundut rokok – duduk santai – mengatur tempo nafasnya – lalu tidak lama memanggil saya “sini, masuk”. Terlihat kaos Pantera dikenakannya, beserta kepulan asap rokok menyelimuti.

Mengingatkan saya pada sebuah artikel majalah edisi 37 dari Rolling Stone, disana ia berbicara tentang bagaimanapun jeleknya – apa yang dikeluarkan oleh seorang Phil Anselmo, ia akan tetap menyukainya. Ya, mungkin inilah contoh perwujudan bentuk lain di sebuah dunia paralel, pikir saya. Philip Hansen Anselmo dari rawa.

Namun kali ini bukan pertanyaan tentang musik Komunal yang Doddy Hamson akan jawab, juga bukan membahas gilanya mereka terhadap heavy metal seperti yang sudah ditulis oleh penulis-penulis hebat di negeri ini. Melainkan aksi tempel-menempel yang Komunal lakukan di sudut-sudut kota Bandung beberapa hari sebelum konserdi Spasial berlangsung.

Bukan ‘nempel’ yang menjadi seorang kurir lalu menyisipkan paket di semak-semak jalanan sepi. Apalagi berlagak menjadi seorang hippies menaruh perangko sekecil 250 mikrogram di lidah: resapi, ikuti, atur saja kemana arahnya. Tetapi kegiatan bombing poster berukuran A6 yang di dalamnya terdapat rincian jadwal dan lokasi gigs mereka.

Dikemas dengan artwork sedemikian rupa, mewarnai ruas Bandung yang makin hari makin tua, berfungsi mengumumkan tanpa terlihat membosankan seperti baliho gambar caleg-caleg yang tersenyum menggelikan menatap kita di stopan. ‘Big Brothers is watching you’ terparanoidkan. Dirimu yang mengkerut. Berkeringat. Letih – yang sedang berusaha menghidupi hari demi hari.

Mengapa memilih terjun ke jalanan – menebar poster – di zaman yang serba instan ini?

Nostalgia. Gigs terlihat sepi. Biar kelihatan ramai, memang seperti harus di-bomb gitu. Sekarang oke lah media sosial gampang, Cuma kalau dipikir-pikir, mudah tenggelamnya. Jadi kenapa tidak mencoba melakukan metode yang seperti dulu? Show di Spasial itu, komunal lebih mau mengajak ‘yuk kita ramaikan lagi’ zaman dulu kita suka nempel-nempel.

Pertimbangan memilih tempat untuk menempel poster?

Pasti lihat tempat-tempat yang kayanya orang bakal lihat. Kalau memang sudah sedikit fasilitas yang memang khusus untuk menempel poster, kita nyari posisi yang bakal dilihat orang saja dan kemarin kita nempel pakai izin juga lah.. Maksudnya minta izin yang punya tempat. Dan ternyata mungkin budaya nempel-nempel tidak ada lagi, hampir sepuluh tahun kayaknya nggak ada ya? Jadi ketika kita lagi sibuk nempel di salah satu tempat, ada kayak satpam gitu yang jaga, mereka malah senang. Mungkin merasa didekorasi gitu tempatnya.

Apakah ada semacam persentase keberhasilan tersendiri untuk Komunal ketika menebar poster di jalanan atau ruang publik? Juga, masih relevan kah itu semua untuk dilakukan?

Menurut gue masih relevan. Ketika lo posting di dunia maya, dalam hitungan detik, sangat mungkin langsung ditimpa oleh konten orang lain. Tapi ketika lo tempel poster di jalan, taruh lah misalnya event lo udah lewat – ketika gue sendiri atau orang lain melintasi jalan yang sama lagi, ada semacam ‘oh, masih ada ya barang ini’. Selain kepuasan diri, senang saja kalau ada bentuk fisiknya, ada artefaknya lah. Kalau memang ada yang ingin mencabut untuk koleksi juga tidak apa, tidak jadi masalah – jadikan semacam memorabilia.

Tanpa harus memikirkan ini itu, biaya dan sebagainya, intinya, jika lo senang yaudah hajar saja. Sebenarnya komunal tidak melakukan bombing itu semenjak album ketiga saja – album pertama waktu itu 2004 masih nempel – 2008 mulai berkurang. Nempel-nempel poster juga lebih ke-misalkan merilis sesuatu, seperti ada memori untuk diri sendiri: ‘kita pernah melakukan ini nih dulu’. Jadi sampai kapan pun – sampai gue mati saja lah.

Dan misalkan nanti akan merilis album baru, di album baru itu gue sudah mempersiapkan bakal ngebombing. Itu (bombing poster gigs sebelum konser di Spasial) sebenarnya program untuk album baru. Cuma kemarin, show di Spasial itu berasa ‘wah momennya dapet’. Jadi satu lagi, nempel-nempel poster adalah bagian dari kemeriahan ketika lo melakukan sesuatu.

Keterlibatan dari membuat sebuah poster bisa melibatkan banyak pihak: Band itu sendiri, ilustrator, hingga tukang cetak. Perputaran yang bisa jadi rumit untuk sebuah poster yang mungkin sederhana sekali pun. Namun bagi para pelaku itu semua menjadi keasyikan tersendiri didalamnya, walaupun saat ini dipermudah oleh media digital. Apakah dengan keinstanan yang ditawarkan media digital akan membunuh beberapa pengalaman tersebut, atau justru membantu?

Membunuh sih enggak, justru membantu sebenarnya. Sekarang tidak perlu lagi repot nempel-nempel, nyebar-nyebar gitu kan sebenarnya ya. Cuma balik lagi, timpa-menimpa di media sosial itu yang menjadi kelemahannya.

Apakah itu alasan Komunal menjadi pasif di media sosial? Ketika banyak band yang menata feeds mereka sedemikian rupa, atas nama estetis katanya. Post.. post.. post… hati-hati kebanyakan gimmick…

Enggak. Kalau alasan jarang post itu memang Komunal sendiri tidak punya konten yang banyak. Maksudnya, karena Komunal memang sedang tidak melakukan apa-apa saja. Dan orang-orang di Komunal tidak ada yang mampu untuk melakukan itu, bukan tidak mau. Padahal gue ingin juga tampil gitu, tapi gue nggak mampu hahaha…

Keterlibatan dan ikatan Komunal dengan ilustrator seperti apa?

Kalau dalam dunia Komunal, Riandi dan Morg memang sudah biasa berkreasi untuk Komunal. Karena kita bisa dibilang teman bermain gitu ya, jadi ketika gue cuma ngasih ide misalkan gambar garis atau apa – sama mereka udah kebayang ‘harus gini nih, harus seperti ini’. Mungkin karena dengan mereka komunikasinya lebih mudah. Kayak si Riandi aja ya, misalkan gue minta tolong: ‘gambarkan yang seperti ini’, dia selalu membuat sesuatu yang diluar ekspektasi gue, jadi ketika dia menyodorkan sketsa, gue seperti ‘wah, malah lebih bagus dari yang gue harapkan’.

Selain tentang nostalgia dan meramaikan poster kembali, ada harapan apa dari Komunal sendiri dengan seakan-akan membuat stimulus atau pendorong untuk orang-orang bergerak menempel poster kembali?

Sebenarnya ada juga semacam pengingat untuk ilustrator-ilustrator yang bisa dibilang baru gitu, kalau lahan mereka itu ada dan ketika memang akhirnya poster itu menjadi memorabilia – misalnya dicopot gitu dan diambil untuk disimpan, tapi nantinya oleh si band atau si ilustratornya kan bisa dijadikan bahan komoditas untuk mereka juga.

Berbicara tentang komoditas, bagaimana budaya poster disini bergerak?

Kalau misalkan budaya poster untuk dijadikan komoditas hingga menghasilkan pendapatan belum lah, sekarang masih tahap sosialisasi. Maksudnya kalau sekarang dijadikan sebagai komoditas yang menghasilkan uang itu belum, butuh waktu, karena di kita budayanya belum ada, dan sudah delapan tahun masih tetap di tahap sosialisasi

Apakah itu disebabkan oleh pengaruh belum tumbuhnya rasa memiliki poster atau tidak ada ketertarikan atau memang kalah dengan dunia digital?

Kompleks sih, bisa semuanya haha… Jangankan poster, ngerilis album – rilisan fisik saja untuk si musiknya itu sendiri masih kurang, jika untuk apresiasi itu saja belum apalagi lebih jauh ke yang lainnya. Sebenarnya nggak ada yang salah dan benar. Cuma rilisan fisik saja yang jelas karya utama dari sebuah band masih jarang untuk mau membelinya.

Kalau masalah apresiasi poster cetak, kalau menurut gue itu masih jauh ya. Cuma gue menganggapnya misalkan ada teman-teman yang bergerak seperti yang gue lakukan. Gue menyarankannya paling: ‘kalau mau bikin, bikin saja’ Yang penting jangan berhenti, anggap saja ini sebagai investasi, mungkin di sepuluh tahun yang akan datang bisa menjadi barang yang lebih bernilai.

Makanya jangan salahkan seniman yang pergi ke luar karena apresiasinya yang lebih bagus. ketika semua berbondong-bondong menuju digital, kenapa nggak loncat saja lagi ke konvensional. Seolah menjadi hal baru, padahal hanya penyegaran yang berasal dari masa lalu.