Marissa Anita: Jembatan Literasi Membaca Budaya dan Media Digital

Marissa Anita: Jembatan Literasi Membaca Budaya dan Media Digital

Memulai karir sebagai jurnalis, menjadi pembawa berita di stasiun televisi, dan bermain di beberapa film yang diperankan. Marissa Anita hadir di kalangan masyarakat dengan banyak memberi pengetahuan dan informasi yang sangat menyenangkan untuk disimak.

Sempat mengenyam pendidikan pasca-sarjana di Amerika, mempelajari tentang dunia budaya media digital. Pemeran dalam film Perempuan Tanah Jahanam ini bercerita kepada kami bagaimana ketertarikannya terhadap dunia visual, kesenangan yang hadir sedari kecil, sampai saat ini dan menjadi bagian hidupnya.

Kami pun berkesempatan untuk berbincang bersama Marissa mengenai pendapatnya tentang dunia literasi, apa saja hal-hal yang membuat tertarik dan menganggap literasi adalah bagian penting dalam hidup, juga pendapatnya tentang dunia digital yang tumbuh bersama masyarakat hari ini dan bergerak begitu cepat.

Tentang literasi di Indonesia, bagaimana budaya membaca pada hari ini menurut Marissa?

Kita berbicara mengenai konteks dunia digital dan internet, tentang pergeseran keinginan membaca secara komprehensif di zaman sekarang, generasi yang disebut dengan digital native generation. Kalau saya sendiri termasuk anak yang tumbuh di generasi transisi, saat internet baru muncul. Saya ingat pesis di Indonesia, internet beroperasi paa tahun 2000an, saat pertama kali ada e-mail dan saya memiliki sahabat pena.

Ketika masa kecil, saya membaca ya masih dengan media konvensional, tulisan diatas kertas, apakah itu koran, buku atau majalah. Jadi ketika masuk ke era internet, yang mana kecepatan informasi sangat pesat dan semua serba pendek. Saya sangat kesal dengan artikel-artikel yang banyak typo, kan kelihatan sekali bagaimana kinerja media tanpa saring.

Dan juga kemampuan membaca digital native generation atau generasi di bawah saya ini cenderung tidak sabar untuk membaca tulisan yang panjang, dan menurut saya itu berbahaya, bahkan menurut para ahli pun sudah banyak penelitian mengenai kondisi tersebut. Karena bayangkan saja, orang yang tidak sabar dan menelaah sebuah tulisan atau berita, ya akan mudah terprovokasi, belum baca keseluruhan dari artikel sudah marah-marah, kan?

Kita itu sangat banyak terbanjiri dengan informasi, karena semua media berlomba-lomba untuk mendapatkan bola mata (perhatian) kita, artinya mereka akan pula berloma-lomba untuk menuliskan headline-headline yang sensasional, mendapatkan apa itu yang namanya clickbait.

Dan satu lagi masalah yang hadir pada generasi sekarang, mereka cenderung terlalu cepat menyimpulkan solusi dari apa yang mereka baca. Persoalan ini muncul sedikit banyak karena hadirnya mesin pencari yaitu Google, selama bertahun-tahun mereka sudah dicetak untuk menuntaskan sebuah masalah dengan mencari solusi kesana. Karena begini, setiap saat otak manusia itu berkembang dan berubah secara pola pikir, dan saat ini semua pemecahan masalah diarahkan ke Google, oleh sebab itu tidak sedikit anak-anak yang frustasi ketika tidak menemukan apa yang mereka cari.

Memang, tidak menggeneralisir semua kalangan, tapi secara umum dan penelitian para ahli, persoalan ini sudah terbukti dan mungkin bisa dikatakan darurat (?).

Apakah pengaruh internet dan media digital sedemikian besar?

Mungkin bukan tentang dunia membaca yang sudah dikalahkan oleh menonton, atau tulisan yang lambat laun ditinggalkan akibat visual digital. Hari ini kita semua sudah digiring kepada dunia digital, apa-apa serba virtual. Bekerja, bermain, dan sebagainya, bisa dilihat di gadget kita berapa lama waktu pemakaian gadget dalam screen time. Tetapi jujur saja, jika kelamaan berurusan dengan itu, saya mumet, kepala saya penuh dan sulit untuk berkonsentrasi pada satu hal. Jadi biasanya saya menarik diri untuk menenangkan pikiran.

Jika kembali dibandingkan dengan generasi sekarang, rata-rata atensinya itu pendek, mereka terlampau sering loncat dari satu hal ke hal lainnya. Karena bayangkan saja dari banyaknya tab di layar komputer, itu sangat memudahkan untuk berpaling.

Saya itu yang mencintai visual, sangat visual person, terlepas dari pekerjaan saya yang juga berhubungan dengan itu. Hampir setiap hari saya menonton film, apapun genrenya. Tetapi saya tahu kapan harus berhenti dari aktifitas tersebut untuk beristirahat.

Jadi sebetulnya bukan di persoalan saingan antara membaca dan menonton, tetapi bagaimana cara menikmatinya. Buku itu kita yang mengatur alur kecepatannya, kita bisa memulai dan berhenti kapanpun kita mau. Membaca dari satu halaman, belasan halaman, mengulang dari awal, semua kita yang mengatur. Perbedaan dengan visual (menonton), yang mengatur kecepatannya bukan kita, kita harus mengikuti alur yang sudah disusun oleh si pembuat.

Ketika kecepatan itu sudah melebihi kapasitas otak saya, waktu istirahat saya digunakan dengan membaca buku. Jadi ada keseimbangan ketika saya lelah dengan visual, saya akan lari ke membaca.

Cerita tentang ketertarikan Marissa pada masa kecil, boleh?

Jujur saja, dari saya kecil, saya kurang menyukai membaca buku. Bahkan ketika teman-teman sekitar membaca buku yang satu hari bisa sampai 50 halaman lebih, saya tidak tertarik. Tetapi saya sangat suka baca komik, hampir dari SD sampai SMA. Mulai kuliah baru saya membaca buku-buku psikologi, karena keharusah di perkuliahan, yang benar-benar harus riset dan sebagainya. Dari situlah kecintaan terhadap membaca buku tumbuh, juga karena kecintaan saya terhadap dunia psikologi. Bersamaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak saya sejak dulu, yang terjawab oleh para penulis dari berbagai buku yang saya baca.

Karena menurut saya kesenangan terhadap sesuatu itu tidak bisa dipaksaan, harus muncul atas keinginan sendiri.

Jadi apa yang bisa dilakukan agar membaca menjadi budaya kembali?

Kalau boleh saya analisa, ketika saya kecil, orang tua saya jarang membacakan buku atau bercerita di malam hari, mungkin itulah kenapa ketertarikan terhadap visual melebihi ketertarikan saya terhadap buku. Tetapi ketika menonton film, saya sering mendapati adegan orang tua yang membacakan cerita pengantar tidur kepada anaknya, saya rasa itu menyenangkan sekali. Tetapi saya tidak menyesal dengan “keterlambatan” mencitai pada buku.

Meningkatkan kesenangan masyarakat terhadap membaca mungkin bisa dipupuk sejak dini, dimulai dari hal sederhana. Contohnya seperti tadi, orang tua yang bercerita kepada anaknya, apapun itu. Lambat laun minat membaca akan tumbuh seraya kesenangan akan hal tersebut muncul pada anak-anak.

Soal media, Marissa sebagai pelaku di dunia ini. Tanggapan mengenai arus informasi saat ini bagaimana?

Dunia media, mau itu kapasitas besar atau kecil, yang terpenting adalah kualitas jurnalistiknya. Sebuah tulisan bagus pasti tercipta dari ekosistem yang baik, semua elemen bekerja sama untuk menciptakan materi yang berkualitas. Dan otomatis, apresiasi bagus pula yang hadir.

Sampai saat ini, saya termasuk orang yang membaca tulisan atau berita dari sedikit media, tentunya media yang saya percaya dan telah terverifikasi kualitasnya. Saya rela kok membayar untuk berlangganan pada media digital, sama saja seperti zaman dulu ketika kita membeli majalah atau koran untuk konsumsi berita sehari-hari, kan?

Saya sudah bosan dan capek dibohongi oleh media yang mengeluarkan berita hanya untuk pengejaran eksistensi, kasihan masyarakat terus dibodohi oleh hal-hal tersebut. Ketika media mengeluarkan materi berkualitas, mau banyak atau sedikit pasti mempunyai pelanggan tetap. Jadi poin kualitas jurnalistik adalah yang terpenting.

Ada pesan yang mau Marissa sampaikan? Semua harus seimbang, bagaimana kita mengatur porsi antara menikmati sajian visual dalam bentuk digital atau membaca buku. Dalam tanda kutip di zaman sekarang membaca bisa dilakukan dimana saja dan melalui perangkat apapun.