Tesla Manaf: Menerka Kuntari

Tesla Manaf: Menerka Kuntari

Dang! Dilahirkan Kembali. Tesla, musisi solo tanpa suara yang sedang menggeliat diterpa glitch-glitch pada matrix. Tiga-enam-sembilan bidikan laser hijau menerpanya tak beraturan. Menjadi target kolosal selagi mengoceh lewat kantung udara yang terletak di bawah mulutnya, lalu dikeluarkan oleh bantuan trompet. Sepertinya banyak yang belum menyadari, bahwa hanya seekor katak betina beruntung dan orang-orang isenglah yang dapat mengerti lengkingan yang diserukan olehnya.

***

Bertempatan di bilangan Cigadung Raya, Orange Cliff menghelat aktivitas yang bertajuk “Unfamiliar Dawn”. Di mana fantasi saat itu berjalan sederhana, intensif, dan konon hanya langit yang menjadi batasannya. Para pengkhidmat terlihat fokus dan sesekali mengangkat gawainya untuk kepentingan dokumentasi. Beberapa dari mereka masih menahan diri. Beberapa juga sudah kehilangan kontak dengan realitas. Satu-dua hanya berdiri seperti zombie dan mengikuti kemana saja visual masif rakitan Convert Textured bergerak. Ini adalah pertunjukan pasif-agresif; teriakan liar dan ledakan-ledakan dalam kegelapan, bersikap lunak pada kedatangan terlambat. Dalam kekuatan cahaya yang berpindah cepat, sedikit sulit untuk melihat wajah kecuali mereka yang berada di sebelah anda. Postur-postur menjadi siluet: beroperasi menjadi apa yang dimengerti sebagai transendensi.

Penampil ke-tidak-tahu memasuki stage. . . sebuah moniker bising produk masa kini bercorak tribal milik Tesla Manaf. Sosok yang banyak dari kalian, mungkin pertama kali melihatnya sedang fokus memainkan jazz progresif/neoklasik dengan instrumen gitar. Tetapi malam itu tidak nampak set akustik dan juga persona Tesla Manaf. Melainkan wujud Kuntari yang berdiri di depan sebuah pintu pondok berdesain jebolan tahun tua mulai sibuk dengan terompet dan noisebox hasil akumulasi kesengsaraannya akan tidur yang tidak pernah lelap, bibir yang mati rasa, dan muatan frustasi ketika berproses mengenal lebih jauh instrumen-instrumen yang dibeli hasil galian total tabungannya pada tahun 2020 silam.

“Makin kesini makin terasa referensi musik gue semakin besar juga luas. Dan gue rasa untuk merealisasikan isi kepala dan ide-ide yang gue mau buat, gitar sepertinya nggak cukup untuk mengakomodir itu semua,” ungkapnya ketika ditemui sehabis pertunjukan selesai.

Selain Kuntari, semua yang bertanggung jawab atas kesehatan telinga para pendengar malam itu adalah Monica Hapsari, Ramaputratantra, Mahamboro, Logic Lost, dan Hunus.

Beberapa yang datang untuk menyaksikan Kuntari saya kira sedikit merasa terkecoh. Penyebabnya dikarenakan album baru Kuntari yang ternyata belum bisa dibawakan pada pentas tengah pekan tersebut. Menurut Tesla, Kuntari nantinya akan menunjukan wajah baru dengan konsep berbeda di atas panggung. “Itu (Last Boy Picked) album yang organik. Semuanya organik. Kita rekaman live organik. Jadi nggak akan bisa di handle pakai elektronik. Gue sendiri pun pernah coba ngulik (menggunakan elektronik) dan mau seorganik apa pun hasilnya, album ini nggak bisa pakai robot, harus manusia asli.”

Manusia asli yang dimaksud Tesla di atas belum bisa dipublikasikan namanya. Namun yang pasti, semua orang yang berandil besar dalam produksian album ini antara lain Rio Abror pada drum. Biondi Noya pada gitar bariton (juga dikenal dengan permainan gitar delapan senarnya). Dan Peter Lumingkewas – yang tergabung bersama Biondi membentuk unit jazz fusion bernarasikan tuhan, naga, malaikat, dan seputarannya dengan nama TRODON – mengisi porsi akustik di album Last Boy Picked yang dirilis serentak oleh Orange Cliff dan Grimloc RecordsNamun untuk pertunjukan live, Tesla mengaku masih menggodok siapa saja yang akan menemaninya di atas panggung, dengan perhitungan efektifitas selama perjalanan dan kesibukan masing-masing personel nantinya.

“Bulan November 2020 kita mulai rekaman album Last Boy Picked. Itu rekaman residensi berlokasi di Jakarta. Kurang lebih tiga hari kita buat dari nol sampai jadi album. Latihan dua belas jam dari sepuluh pagi sampai sepuluh malam. Makan bareng, tidur bareng, mengolah konsep bareng, yang dimana keseluruhan ide konsep dari gue sendiri, tapi komposisinya kita buat bersama-sama.”

Berbekal musik rock progresif dan jazz yang diperdengarkan oleh ayahnya sejak balita. Serta kepekaan lebih terhadap detail-detail bebunyian pada sebuah musik. Tesla Manaf saat ini seperti berjalan dalam jalur asing – namun juga familiar – yang memang sudah terbuka luas untuknya. Inheren dalam diri. Maka dibentuklah Kuntari, dengan penetapan nama yang acak, feminin dan tidak ingin terdengar terlalu Barat (Usut tidak punya usut, terendus kabar nama ‘Kuntari’ dipilih melalui proses pemilahan secara subliminal, diambil dari nama seorang dokter “dr. Kuntari” yang membuka tempat praktik di suatu kota yang dahulu sedang Tesla lalui).

Eksplorasi prototipe-nya itu dimulai pada tahun 2019 berupa split EP kolaborasi dengan grau&. Hanya berselang satu tahun waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkan debut album bertajuk Black Shirt Attracts More Feather, sekaligus menegaskan – setidaknya untuk dirinya sendiri – bahwa Kuntari bukan hanya sebuah moniker side-project saja. Dan jika ia berhenti di sana, hanya mengulang apa yang sudah ada, secanggih apapun album Black Shirt terdengar, puncaknya sudah terlihat jelas akan terbaca seperti tumpukan musik Berlin, Inggris, atau Barat pada umumnya. Akhirnya ia mencoba istirahat enam bulan sembari bereksperimen dengan alat-alat baru. Setelah mencoba berbagai piranti padat, pencarian Tesla berakhir dengan menantang instrumen brass yang banyak orang bilang instrumen tersulit di dunia: trompet. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah album yang bertengger di beberapa daftar album terbaik rilisan tahun 2021.

***

Pencapaian album sophomore-nya ini bukan hanya dari segi musikal saja. Ilustrasi album yang di dalamnya terdiri dari fotografi skulptur-skulptur buah tangan Nitya Putrini mendapat perhatian lebih karena dirasa berhasil menggambarkan peliknya trauma dan keseluruhan atmosfer pada album tersebut.

Tesla menambahkan bahwa peristiwa yang mengancam kehidupannya ketika usia mulai memasuki kepala satu, menjadi isu fundamental di setiap nomor dan juga konsep penamaan judul-judul yang tertanam di Last Boy Picked. “Semua trauma masa kecil yang nggak bisa gue lupakan sampai sekarang diwakilkan oleh warna-warna itu. Terutama “Azura”salah satu trek yang gue suka. Kenapa? karena sesuatu yang nggak bisa gue teriakan, mampu gue lepas melalui trompet. Dan itu lirik gue sekarang.”

“ . . . yang gue maksud dengan ‘lirik’ tadi adalah apa yang disebut animal mating calls. Misalkan kalau mereka (hewan) sedang dalam musim bercinta, Si jantan akan memanggil betinanya dengan suara khas (tergantung jenis hewannya itu sendiri). Nah, dari situlah narasi gue untuk memainkan terompet saat ini: gimana caranya gue bisa menirukan suara-suara animal mating calls tadi itu,” ujarnya berhenti sejenak, lalu melanjutkan penjelasannya dengan gestur getir, “Suara ketraumatisan gue jujur sangat keluar di musik “Azura” ini.”

Mendengar gagasan animal mating calls tadi saya jadi penasaran bagaimana reaksi penggemar Tesla Manaf era jazz setelah membaca maklumat barusan. 

Tidak sedikit pendengar lama Tesla berpaling dan tidak lagi mengikuti Kuntari. Hal itu terjadi lantaran menurutnya masih banyak orang – khususnya di negara ini – beranggapan bahwa musik yang didominasi oleh guitar-driven lebih jauh mudah dinikmati dan digemari. Dan orang-orang dari gang sempit sampai pelosok mana pun saat ini sudah banyak yang bisa memainkan gitar.

Padahal jika ditelusuri kembali, benih-benih eksperimental sudah tergurat akrab pada rilisan-rilisan terdahulunya. Mengacu pada trek “Moving Side” pada album A Man’s Relationship With His Fragile Area ketika ia belum bermutasi menjadi Kuntari yang dirilis oleh Moon June Records, New York. Bila diputar ulang lagi, nampak terlihat benang merah komposisinya dengan trek pembuka “Roseate” pada album Last Boy Picked.

***

Kejenuhan bermain gitar merangsang Tesla untuk memikirkan hal-hal baru. Jika tidak, menurutnya ia akan tersudut lalu berimbas pada karya-karya selanjutnya. Pernyataan tersebut sekaligus membawa saya menuju pertanyaan terakhir:

“Jadi, sudah kukuh untuk meninggalkan jazz total di belakang?”

“Gue udah nggak megang gitar dari tahun 2018. Berarti sudah empat tahun gue nggak pegang gitar sama sekali. Kemarin januari 2021 megang lagi sih, iseng-iseng main gitar klasik karena disuruh orang tua. Tapi tiga bulan setelahnya, jari tengah gue kesayat silet dan hampir terbelah dua.”