Putar Balik Kapsul Waktu: Tentang Reissue dan Selingkar Wilayahnya

Putar Balik Kapsul Waktu: Tentang Reissue dan Selingkar Wilayahnya

Oleh: Gregorius TH Manurung

Aku akan pergi ke tempat yang lain dari sini

Ke waktu yang bukan hari ini

Melihat apa yang akan terjadi

Suara Otong menyanyikan potongan “Lagu Hujan” terdengar jelas dari ruangan sebelah. Saya mengangguk-anggukkan kepala dan bernyanyi, mengisi waktu menunggu Herry Sutresna. Ucok, sapaan akrab Herry Sutresna, sedang berada di ruang sebelah untuk mendengar hasil vinyl 7-inch “Lagu Hujan” yang akan dirilis oleh Grimloc Records. Kami berjanji bertemu untuk berbincang soal praktik reissue musik yang dilakukan Grimloc.

Grimloc membuka 2021 dengan merilis reissue Future Syndrome (1997), debut dari Forgotten. Setelah itu, beragam reissue Grimloc rilis sepanjang 2021; diskografi (mungkin) lengkap Anjing Tanah, album semata wayang Hark! It’s Crawling Tar-tar, single Eyefeelsix, dan tiga EP Domesticrust yang digabung menjadi album Rahuru Sonik Tanah Koloni.

Tahun 2022 ini Grimloc dan Disaster Records me-reissue album ketiga Balcony, Metafora Komposisi Imajinar (2003), dalam format vinyl 12-inch. Reissue album ketiga Balcony akan dilanjutkan dengan perilisan diskografi penuh unit hardcore legendaris ini.

Grimloc tidak sendirian. Sepanjang 2021, Elevation Records merilis tiga album dari trubadur asal Surabaya, Gombloh. Anoa Records merilis dua EP penting bagi skena musik independent lokal: SEL – Re.li.kui (1996) dan Sieve – Biara (1999).

Dari ramainya perilisan reissue ini, ada satu pertanyaan yang membentang: apa pentingnya merilis album-album dari “masa lampau”?

Reissue sebagai Kapsul Waktu

Membicarakan reissue tidak lepas dari masa lalu dan memori. Sebagai sebuah produk budaya dari suatu masa tertentu, rilisan reissue dapat dilihat sebagai penanda zaman yang menjadi pengetahuan bagi generasi sesudahnya.

Taufiq Rahman dari Elevation Records memilih kata snapshot dan dokumentasi untuk menggambarkan ini. Baginya, setiap masa memiliki karakteristiknya sendiri yang tidak ada dalam masa lain. Hal tersebut dapat dilihat lewat musik atau seni yang dihasilkan. Banyak karya seni dan musik yang merupakan respons seniman atas apa yang terjadi atau, dalam bahasa Taufiq, “kesekarangan” pada masanya.

Taufiq percaya bahwa saat memahami musik adalah juga memahami ruang dan waktu yang melatari kehadiran karya seni tersebut.

Taufik mencontohkan “Payung Fantasi” milik Bing Slamet yang memiliki pengaruh bebop Charlie Christian atau Django Reinhardt yang sedang trendy saat itu, atau “seperti anak-anak 1990-an di Bandung mendengar Cocteau Twins dan menjadi indie.”

“Dengan itu kita bisa paham bahwa ini [musik-musik itu] sangat modern pada zamannya. Bagi kami seni yang merespons masalah zamannya selalu terdengar modern,” tulis Taufiq dalam surel pada High Volta.

Ucok menyatakan hal yang kurang lebih senada. Baginya, sebuah produk budaya tidak lahir dari langit atau ruang kosong. Selalu ada proses yang melatari hadirnya produk tersebut sehingga ketika membicarakan produk reissue bukan hanya soal “Album ini bagus!”, tetapi juga melihat kondisi-prakondisi yang juga bagian dari karya tersebut.

“Ada orang-orang yang kemudian mempengaruhi pemikiran orang-orang pada saat itu untuk kemudian membuat album. Demikian juga saya pada saat itu, demikian juga Balcony, dan lain sebagainya,” ucap Ucok.

Ini terlihat jelas dalam perilisan Dorr-Darr Gelap Communique milik Hark! It’s Crawling Tar-Tar tahun 2021. Dalam liner-notes yang Ucok tulis, ia panjang lebar menggambarkan skena musik Bandung pasca-Reformasi sesuai ingatannya. Etos DIY dan semangat otonomi dalam berbagai praktik, jejaring komunitas yang erat, dan diskusi panjang lebar atas musik dan politik yang menjadi keseharian para pelaku skena saat itu, termasuk Hark! yang menjadi bagian di dalamnya. Analisis musik tidak mendapat porsi besar.

“Jadi kayak catetan jurnal aja sebenernya. Kayak pengarsipan gitu. Itu kalau buat saya yang penting,” tambah Ucok.

Namun, meskipun narasi menjadi penting, bagi Ucok bukan berarti karya musik itu sendiri dilupakan. Bagaimanapun, rilisan reissue tersebut tetaplah rilisan musik. Narasi yang ada memiliki posisi yang sama penting dengan karya musik itu sendiri.

Kualitas musik pula yang menjadi gerbang awal bagi Peter Walandouw dari Anoa Records untuk merilis reissue. Meskipun karya tersebut dari masa yang terlampau jauh, selama kualitasnya bagus bagi Peter, karya itu layak untuk dirilis ulang.

“Kalau menurut gua sih selama masa lalu itu bagus dan layak buat dikasih tahu, didengerin, buat di-share, ya why not?” ucap Peter melalui pesan rekaman suara pada High Volta.

Selain kualitas musik, EP dari Sieve dan SEL yang Anoa reissue pada 2021 menjadi penting sebab memiliki posisi krusial dalam perjalanan musik independen lokal. Dalam bahasa Peter, dua EP ini “definitif” untuk aliran musik masing-masing di skena musik lokal; SEL di aliran industrial dan Sieve di aliran gothic.

Dengan beragam muatan seperti itu, jelas saja kalau penggarapan rilisan reissue tidak bisa serampangan. Terdapat usaha lebih yang mesti dilakukan untuk menghadirkan kembali “aura” yang dimiliki rilisan reissue secara layak.

Dalam usaha penangkapan aura tersebutlah penggarapan reissue menjadi pedang bermata dua; satu menancap jantung lawan, satu menyayat jempol sendiri. Tidak jarang penggarapan reissue menyita waktu dan energi berlebih.

Penggarapan aspek bunyi reissue menjadi salah satu bagian yang menyita banyak energi. Kondisi master sebuah rekaman yang tidak pasti dan seringkali mengenaskan memerlukan perlakuan khusus untuk tiap-tiap rekaman. Tidak jarang beberapa rekaman menjadi mustahil atau hampir mustahil untuk dijadikan rilisan reissue yang layak.

“Pure Saturday [album debut] itu hampir nggak memungkinkan. Hampir, karena dia formatnya pita yang kemudian harus dicuci di London yang biayanya sangat-sangat,” papar Ucok.

Penggarapan album Metafora Komposisi Imajinar  milik Balcony dan Basi dari Full of Hate menjadi contoh bagaimana penggarapan aspek bunyi rilisan reissue dapat membuat kepala meledak. Penggarapan bertahun-tahun diakibatkan kondisi master mengenaskan yang diambil dari kaset pita. Hal ini sangat bergantung pada kondisi permukaan pita.

Penggarapan reissue Metafora Komposisi Imajinar terhitung mencapai tiga tahun sebelum akhirnya bisa dirilis tahun 2022 ini. Untuk Full of Hate? Grimlochu a’lam.

Menyimak Reissue, Menenggak Kapsul Waktu

Ketika ditanya apa pentingnya membawa musik dari masa lalu atau beromantisme, Taufiq memberikan jawaban yang membuat dahi agak mengernyit. Baginya, masa lalu tidak ada.

“Bagi kami, tidak pernah ada masa lalu, itu cuma konstruksi pikiran,” tegas Taufiq.

Menurut Taufiq, kategori “jadul”, “tua”, atau “lampau” yang sering di sabung dengan “sekarang”, “baru”, dan “modern” tidak penting-penting amat dalam melihat musik, atau karya seni secara lebih umum. Sorotan mestinya diarahkan pada musik itu sendiri sehingga tidak perlu memandang sinis atau bahkan menihilkan karya seni hanya karena itu dibuat saat kakek-nenek atau orangtua kita baru akil baligh.

Great art is great art, dari masa atau era apapun,” tulis Taufiq. “Kami mencoba mencari album musik dengan kisah yang compelling dengan semangat berkarya yang serius bermain-main seperti Bandempo, Behind the 8th Ball, atau Sekar Mayang. Tiga album itu tidak bisa lebih berbeda satu sama lain, tapi jika didengarkan lebih dekat, ada proses penciptaan yang sama, dengan kerja keras yang sama, dengan niat mendobrak batasan yang sama.”

Sementara itu, Ucok mengakui bahwa romantisme dan nostalgia adalah bagian dari rilisan reissue. Ia tidak menafikan unsur masa lampau dalam reissue dapat membawa kita pada romantisme. Namun, bagi Ucok, merilis reissue adalah pengakuan bahwa era yang melatari lahirnya rilisan reissue itu sudah selesai.

Rilisan-rilisan reissue Grimloc adalah bagian dari perjalanan musik independen Bandung. Beberapa rilisan melibatkan awak Grimloc di dalamnya, seperti Homicide dan rilisan-rilisan Harder Records. Beberapa yang lain adalah karya para sejawat nangkring yang sama-sama mewarnai perjalanan musik independen Bandung. Selalu ada keterikatan dan cerita personal antara rilisan tersebut dengan para personel Grimloc.

“Kita ngerasa ada hal-hal yang krusial di masa lampau yang perlu dicatat atau bahkan diketahui lagi. Keinginan kita sendiri gitu, untuk memperlakukan arsip-arsip lama kita – bukan orang lain, kita – secara proper,” ucap Ucok.

Dengan menyebutnya sebagai arsip, bagi Ucok itu sudah menandakan bahwa era itu sudah selesai; tidak bisa dan tidak perlu dikembalikan. “Mengoptimalkan” sekalipun dapat dilihat sebagai pengakuan bahwa terdapat banyak kekurangan dari proses penggarapan rilisan-rilisan era itu.

Rilisan-rilisan yang dijadikan reissue pada akhirnya ada untuk dikunjungi sesaat dan direfleksikan. Dalam momen refleksilah reissue memiliki taji tersendiri.

Momen refleksi hadir sebagai pariwara untuk arus kehidupan yang deras, jeda untuk memikirkan kembali apa yang sudah atau sedang dilakukan selama ini. Bagi Ucok, melalui momen refleksi dia dapat melihat kondisi diri saat ini setelah melalui banyak hal. Kejadian dan produk dari masa lampau menjadi bahan bakar dalam momen refleksi ini.

“Jangan-jangan nggak penting-penting amat. Jangan-jangan kita nggak pernah ke mana-mana. Momen refleksi itu penting,” ucap Ucok.

Dari refleksi itulah diharapkan muncul ide-ide dan gagasan baru untuk memproyeksikan masa depan. Masa lalu beserta segala catatannya dalam refleksi menjadi pengetahuan dan potensi dalam usaha memproyeksikan masa depan. Dalam kasus Ucok, refleksi atas Harder Records dengan segala catatannya yang menjadi salah satu pendorong lahirnya Grimloc Records.

Untuk urusan musik, reissue menjadi bahan bakar untuk merefleksikan gegap gempita musik saat ini.

“Dengan ngerilis itu, kita melihat bahwa di masa lampau kita udah pernah ada di level segini. Lu mau segitu doang?” tegasnya. “Lu kalau mau bikin [musik], kalau cuman biasa-biasa aja, itu udah pernah dilakukan 10-15 tahun yang lalu.”

Reissue menjadi semacam pembanding dalam konteks perkembangan dan rentang waktu. Ia dapat menjadi pengukur karya yang kita produksi saat ini.

Perihal narasi yang menyertai rilisan yang dirilis kembali juga adalah bagian dari refleksi. Bukannya tidak mungkin orang-orang memiliki pandangan berbeda pada sebuah momen, masa, atau rilisan. Klaim setiap orang atas hal-hal tersebut pun bukanlah hal yang haram, malah sangat wajar dan perlu.

“Setiap warga kota mencatat kotanya sendiri lah, tentang skenanya, tentang orang-orangnya, tentang ceritanya pada saat itu. Yang paling bener kaya gitu sebenarnya, gitu. Bukan ditulis orang lain, gitu,” ucap Ucok.

Menurut Ucok, sejauh ini belum ada klaim yang berbeda dari rilisan-rilisan reissue dari Grimloc. Kawan-kawan sejawatnya seringkali bersepakat dengan klaim yang Grimloc narasikan sambil menambahkan detil-detil peristiwa. Sementara generasi yang lebih muda menyikapinya sebagai pengetahuan sejarah atas skena mereka sendiri.

Bahkan menurut Ucok, pameran poster-poster gigs yang diarsipkan Deden Erwin Suherman pada gelaran Bandung Design Biennale 2021 terpantik dari perilisan ulang album Hark! It’s Crawling Tar-Tar.

Selayaknya proses penggarapan, akhirnya diperlukan usaha lebih dalam pula saat memahami reissue. Pemahaman pada konteks ruang, waktu, dan proses yang melatari rilisan-rilisan reissue membuat kita mendapatkan suara lain dari suatu produk kultural.

Dari sana pula pengetahuan dan sejarah kreatifitas menjadi amunisi penting bagi kita untuk terus memikirkan lebih dalam dan jauh apa saja yang sudah dan sedang kita kerjakan sambil terus mencari cara untuk berupaya memproyeksikan masa depan. Selayaknya ungkapan klise “membawa masa lalu untuk menyusun masa depan”, reissue memiliki tajinya di sana. Reissue yang disuguhkan menjadi tantangan tidak langsung bagi para penikmatnya untuk berpusing-pusing kembali memikirkan diri dan skenanya. Setidaknya agar tidak sebatas menjadi binatang yang sedang moshing di lantai dansa.