Sumber foto: instagram.com/studiopancaroba
Ada beberapa momen ketika kita dihadapkan bahwa sebuah pertanyaan lebih penting daripada jawaban.
Perkara menjalani hidup, dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dari urusan domestik sampai mencari tempat bermain, dari kepentingan sekolah sampai petang hari muntah-muntah; terkadang kita disyaratkan dengan serangkaian rutinitas yang perlu untuk dipenuhi–apapun kepentingannya. Tentu ada skala prioritas dalam menjalani itu semua, menghitung mana yang perlu dikedepankan terlebih dahulu. Satu hal yang perlu disadari, semua aktivitas yang dilakukan adalah bentuk kesinambungan dari rangkaian modus yang terlibat didalamnya: sosial, kultural, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Hari ini, dan hari-hari berikutnya adalah penasbihan dari perjalanan dalam menjalani hidup yang ditempuh dengan kerumitan modus yang tertulis sebelumnya, baik individu atau kelompok, dengan ideologinya masing-masing. Banyak orang yang bekerja dengan badan usaha milik sendiri, tak sedikit pula yang bergantung pada satu instansi. Tak masalah dengan kedua hal tersebut, pilihan ada di masing-masing pihak. Namun, kesadaran akan integrasi dari rangkaian modus sosial, kultural, ekonomi dan politik tentu tak bisa dipisahkan, bahkan dalam bidang yang paling tidak penting sekalipun: seni dan budaya.
Alkisah pada suatu hari, salah satu band punk rock asal kota kembang, yang melabeli entitas mereka sebagai band legendaris nan reformis, berjasa atas ‘perjuangan’ di tahun 1998, mengadakan tur internasional. Dalam satu artikel media besar di Indonesia, lagu-lagu mereka diklaim dengan “kritik yang tajam”; matilah pemerintahmu, wow. Naasnya, tur mereka disponsori oleh salah satu bank besutan pemerintah yang mengakomodir penggusuran kota. Hitung berapa kata lucu yang bisa kita tertawakan di tongkrongan.
Pilihan boleh berbeda, memang betul. Jika mereka memiliki argumen pribadi, silakan. Namun saya ragu–jika ini benar–kalau mereka mendeklarasikan dan menyepakati berbagai hal absurd itu tanpa sadar. Bayangkan, hampir 30 tahun hidup sebagai seorang “punk”, tak memiliki–minimal–bekal literasi mengenai “punk” tersebut, sedangkal-dangkalnya bisa didapat di Wikipedia, aneh rasanya. Peristiwa menggelikan yang kembali terulang, satu konteks seperti yang telah dibahas di catatan laman gutterspit, silakan dibaca untuk pembahasan yang lebih mendalam.
Akan jadi cerita panjang, juga banyak artikel menarik yang telah membahas “punk” dari a sampai z, dari yang humor hingga total serius. Di sisi lain, kesadaran akan modal hidup yang berdampingan nampaknya jadi sisi menarik untuk dibahas. Ingat bahwa–sekali lagi, dan perlu dingat terus-menerus–kedaan negara tak pernah membaik, paham kita untuk membangun kesadaran bahwa segala yang dilakukan dalam hidup itu adalah politis, dan akan selalu terikat dengan hal tersebut.
Sedikit membahas jalan pikiran Harry Boyte, yang memandang bahwa politik keseharian sebagai aktivitas yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, tanpa memisahkan satu kegiatan dengan kepentingan lainnya. Politik adalah bagaimana warga memiliki kekuatan dan kapasitas untuk membentuk dunia di sekitar mereka melalui tindakan kolektif. Tidak pasif terhadap keadaan sekitar, atau ekstrimnya sampai menihilkan sikap politis atas apa yang dilakukan.
Politik keseharian melibatkan pembelajaran dan pengembangan keterampilan demokratis melalui pengalaman langsung. Pentingnya kemampuan untuk bertindak secara efektif dalam ranah publik, termasuk kemampuan untuk bernegosiasi dengan berbagai kepentingan dan mengatasi perbedaan untuk mencapai tujuan bersama, dalam hal ini membangun kesadaran posisi dan sikap yang dipijak.
Pada kasus ini, kita dapat mempelajari gerak-gerik dari praktik Studio Pancaroba, yang aktif di bidang rupa dengan pembawaan populer. Salah satu karya hasil risetnya yang dipamerkan dengan judul pameran “Who Makes The White Cube White”, mengisahkan tentang pegawai kebersihan di ruang pamer. Dengan cermat SP (Studio Pancaroba) mengamati, berinteraksi dan menelusuri jejak pegawai kebersihan tersebut baik saat dalam tugas dan di luar jam kerja.

Sumber foto: instagram.com/studiopancaroba
SP menyoroti banyak aspek dalam ruang lingkup kerja sang pegawai; dari mulai persoalan ekonomi, timpang kelas, strata sosial; yang semua hal tersebut lekat dengan tumpang tindih politik.
Kita ilustrasikan bagaimana riuh kemewahan ruang pamer (di museum atau galeri seni) saat pameran berlangsung, para elit–baik dalam konteks ekonomi, sosial dan kultural–berkumpul untuk memuja-muji karya seni yang terpajang. Situasi tersebut sudah terbentuk sejak ratusan tahun lalu, dimana pada dunia tersebut selalu tercermin oleh para elit yang menjadi sampul. Menariknya dalam proyek “Who Makes The White Cube White”, SP melihat instrumen lain, yang selalu luput dari sorotan, mereka–para pegawai –lah yang sebenar-benarnya hafal seluk-beluk ruang dan karyanya, mereka-lah yang membuat “mahal” momen tersebut, dan mirisnya mereka yang paling “terinjak” di dalamnya.
Hal penting disini adalah bentuk “profesionalisme”. Pemikiran Boyte yang mengkritik cara pandang teknokratis yang mendominasi banyak profesi dan institusi mapan, di mana elit dianggap sebagai satu-satunya sumber solusi untuk masalah publik. Sebaliknya, provokasi untuk mengadvokasi bentuk profesionalisme yang menghargai pengetahuan lokal dan pengalaman warga, serta mendorong kolaborasi antara profesional dan komunitas dalam mengatasi tantangan bersama.
Cara kerja SP untuk “memperkenalkan” pentingnya kesadaran akan pendidikan politik, pada level manapun, memperlihatkan bahwa kejanggalan elemen, kelas, status, pola kerja dan lain sebagainya saling terhubung. Bahwa terlalu naif jika di zaman kesuraman ini, menyikapi berbagai modus dalam roda hidup masih dipisahkan.
–
Tulisan ini bukan untuk mengajari, apalagi menghakimi. Tetapi sekecil-kecilnya berbagi sudut pandang, boleh lah dituliskan, karena politik pun tak perlu izin dan permisi.