Musik ‘indie’ terus berkembang dari waktu ke waktu. Mulai dari garage-gigs dan dan tiket berupa donasi sampai menjadi konser di lapang besar dan tiket yang bisa memenuhi kebutuhan selama sehari penuh. Penikmat musik indie pun semakin bertambah secara kuantitas, mulai dari siswa SMA, mahasiswa, sampai pensiunan PNS bisa saja berada di festival musik indie dan berteriak “Danilla, i love you!”.
Fenomena ini mengingatkan saya pada sebuah idiom, Bertambahnya kuantitas bukan berarti bertambahnya kualitas. Penikmat musik indie banyak, tapi saya masih saja melihat para penikmat musik yang sebenarnya menghiraukan musik itu sendiri. Salah satu contohnya adalah ketika kita mengapresiasi musik dengan mata atau indera penglihatan, bukan dengan telinga.
Gaya apresiasi ini bisa sangat mengerikan bagi saya. Karena gaya ini menyikapi musik bukan sebagai musik, tetapi sebagai apa yang dapat dilihat dari si musik, terutama pada “seperti apa si penampil musik tersebut”. Gaya ini menyampingkan substansi dari si karya karena mereka lebih menyukai apa yang dilihat daripada apa yang didengar. Padahal sedang memposisikan diri sebagai apresiator musik.
Seperti contohnya ketika saya datang ke sebuah festival musik bersama rekan saya dan di saat itu saya menonton penampilan dari Barasuara. Ketika Barasuara memainkan lagunya, dia dengan entengnya berkata ”Asteriskanya mana? Kok ga ada Asteriska? Ah kecewa!” -Asteriska, penyanyi latar Barasuara-. Mendengar itu saya langsung mengernyitkan dahi dan melirik dia. Dia kelihatan serius soal itu dan mengatakannya berulang-ulang
Mari kita berpikir sedikit lebih dalam, dia datang ke sebuah konser musik, menonton sebuah band, ketika bandnya datang dan tampil, dia malah memasalahkan ketika salah seorang personilnya tidak datang. Saya akan paham jika dengan tidak ada salah seorang personil itu membuat warna musiknya berbeda. Tetapi kenyataannya dia kecewa karena ”tidak bisa melihat Asteriska”, bukan karena tidak bisa mendengar musik Barasuara dengan utuh. Mungkin saya terlalu lebay, tapi saya yakin anda akan melihat itu nanti.
Selain itu juga saya melihat fenomena dari Danilla yang tiba-tiba naik daun dan Stars and Rabit yang mendadak disukai banyak hipster. Ketika saya lihat mereka dan sedikit bertanya, alasan mereka sama seperti kawan saya yang satu itu. Mereka melihat Danilla sebagai yang cantik dan lucu juga dengan kelakuan Danilla yang tidak biasa adalah hal yang menarik bagi mereka. Sebenarnya itu tidak masalah, tapi masalahnya mereka malah menomor-duakan lagu Danilla itu sendiri. Stars and Rabit pun seperti itu, mereka melihat Stars and Rabit karena Elda memiliki stage act dan kepribadian yang menarik. Mereka melihat Stars and Rabit sebagai Elda, sang vokalis, bukan Stars and Rabit sebagai penampil Man Upon The Hill, Worth It, atau House.
Mereka menyukai Elda dan menyuka Danilla karena fisik dan kelakuan mereka, karena itu otomatis mereka harus menyukai karya-karya mereka agar mereka bisa mendapatkan legitimasi sebagai menjadi penggemar Elda dan Danilla. Lalu mereka mendengarkan lagu-lagu Danilla atau Stars and Rabit dan dalam sehari dapat menghafalkan seluruh lirik dari lagu idola mereka itu agar bisa terlihat bernyanyi ketika idolanya tampil, bukankah ini mengerikan?
Ini bukan berarti saya membenci Danilla dan Elda, saya menyukai mereka berdua. Saya menyukai Danilla sejak Danilla masih tidak diketahui teman sebangku saya atau orang di kanan dan kiri tempat tongkrongan saya sampai akhirnya sekarang banyak teman saya memposting foto Danilla di instagram. Saya menyukai Stars and Rabit memang tidak terlalu lama, tetapi saya mengetahui mereka dari teman saya yang memutar lagu Man Upon The Hill dan saya langsung banyak mencari tentang Stars and Rabit.
Tapi yang saya masalahkan di sini adalah mengapa apresiasi terhadap musik harus mengedepankan apa yang dilihat? Bukan apa yang didengar atau bukan dari karya si musisi. Apakah para penggemar-sampai-mati Danilla itu akan tetap menggemari Danilla seperti sekarang kalau Danilla tidak terlihat seperti sekarang, menjadi jauh dari bentuk dari Danilla dalam penglihatan mereka sekarang? Begitu juga dengan Barasuara, Stars and Rabit dan banyak lagi band-band lain yang digemari secara masif dan militan karena mereka dianggap memiliki persona yang luar biasa sehingga lagu mereka sendiri sering diabaikan.
Marilah kita lebih dewasa dalam mengapresiasi musik. Marilah kita percayai bahwa musik harus diapresiasi dengan didengar dahulu, baru kita mengapresiasi aspek-aspek lain yang berhubungan dengan musik itu. Bukankah kita telah mengkhianati si musik dan si musisi itu juga?
Kita akan mengkhianati si musisi dengan gaya apresiasi ini karena kita tidak menghargai karya si musisi. Bukankah musisi disebut musisi karena ia berkarya? Bukan karena ia berpakaian seperti Jimmy Page atau berperilaku seperti Keith Morris. Lalu jika kita tidak menghargai si musisi karena karyanya, tetapi karena bentuknya, entah itu bentuk fisik ataupun kelakuan sehari-harinya, kita telah mengkhianati mereka bukan?
Gaya apresiasi inipun akan membawa kita pada fanatisme akan musisi tersebut. Sehingga membuat kita secara otomatis menyukai apapun karya si musisi. Kita tidak mencoba menjadi apresiator yang baik yang memberikan feedback -dalam bentuk apapun- kepada si musisi. Lalu akan membuat si musisi tidak berkembang sama sekali dan malah mengaburkan peran apresiator. Marilah kita mengapresiasi musik sebagai musik itu sendiri, tidak mengapresiasi musik sebagai persona. Bukankah kita telah mengkhianati si musik itu sendiri jika kita tidak mengapresiasi mereka sebagai diri mereka sendiri. Atau kita bisa menyamakan ketika kita menyukai musik karena personanya, bukan karena musiknya, kita sudah sama dengan jendral polisi yang meloloskan seoseorang ke Akademi Kepolisian karena orang itu adalah keponakan atau anak kita. Kita telah sama berdosanya dengan mereka.